A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Dasar
dari setiap agama adalah keyakinan, yakni keyakinan terhadap adanya Tuhan dan
segala aspek yang berhubungan dengan-Nya. Dalam agama Islam, keyakinan disebut
dengan akidah yang di dalamnya ada ajaran tauhid, yaitu mengakui
keesaan Allah Swt. Agama lain pun terdapat ajaran-ajaran mengenai ketuhanan yang
biasa disebut dengan teologi.
Istilah
teologi bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang
karena dilihat segi pengertian, teologi sama seperti ilmu tauhid atau ilmu
kalam. Teologi Islam secara garis besar membahas tentang aspek ketuhanan dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dengan mempelajarinya, maka akan
semakin menguatkan keyakinan pada diri seseorang dan agar tidak mudah
diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam teologi Islam, muncul aliran-aliran yang bergelut dalam
pembahasan ketuhanan. Salah satu aliran yang paling dikenal dan diajarkan di
Indonesia adalah aliran Asy’ariyah. Oleh karena itu, kami tertarik untuk
membahas aliran Asy’ariyah baik dari segi sejarah, pemikiran-pemikiran, dan
tokoh-tokohnya.
2.
Tujuan Penelitian
a.
Untuk
memahami sejarah terbentuknya Asy’ariyah dan riwayat hidup Al-Asy’ari
b.
Untuk
memahami perkembangan Asy’ariyah
c.
Untuk
mengidentifikasi doktrin-doktrin Asy’ariyah
d.
Untuk
mengenal lebih jauh tokoh-tokoh Asy’ariyah
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah terbentuknya teologi asy’ariyah dan riwayat hidup Al-Asy’ari?
2.
Bagaimana
perkembangan pemikiran Al-Asy’ari ?
3.
Bagaimana
pemikiran Al-Asy’ari mengenai :
a.
Tuhan
dan sifat-sifatNya ?
b.
Kebebasan
dalam berkehendak (Free Will) ?
c.
Akal
dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk ?
d.
Qadimnya
al-Qur’an ?
e.
Melihat
Allah ?
f.
Keadilan
Tuhan ?
g.
Kedudukan
orang berdosa besar ?
4.
Siapa
saja tokoh-tokoh teologi Asy’ariyah ?
C.
Pembahasan
1.
Sejarah Terbentuknya Teologi Asy’ariyah dan Riwayat Hidup
Al-Asy’ari
Nama aliran ini disandarkan kepada pendirinya, yaitu
Al-Asy’ari. Pengikut dan pendukung kelompok ini diebut kelompok atau golongan
Asy’ariyah. Aliran ini banyak dianut oleh orang muslim yang bermadzhab Syafi’i.
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin
Ishaq bin Salim bin Is’mail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada
tahun 260 H/873 M. Ayah Al-Asy’ari meninggal ketika ia masih kecil. Ketika
Al-Asy’ari berumur 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada
tahun 324 H/935 M. Menurut Ibn Assakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang
berfaham Ahlussunah, selain itu ia juga seorang ahli hadits. Namun sepeninggal
ayah Al-Asy’ari, ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang
bernama Abu Ali Al-Juba’i. Al-Asy’ari kecil dididik oleh ayah tirinya yang
berfaham Mu’tazilah, sehingga ia menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah.
Al-Asy’ari sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Mu’tazilah. Selain berguru kepada ayah tirinya, ia juga berguru
kepada ulama lain tentang hadits, fiqih, tafsir dan bahasa.[1]
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia
40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan para jama’ah
masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Hal itu terjadi pada
tahun 300 H[2]
Penyebab Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah adalah pengakuannya bermimpi
melihat Rasulullah dan beliau
berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat
dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan
ke-30 bulan Ramadhan.[3]
Penyebab lain adalah ia berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i
dan dalam perdebatan itu, guru tak dapat menjawab tantangan murid. Kutipan
perdebatan tersebut sebagai berikut:
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan seorang mukmin, kafir dan anak kecil
di akhirat?
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik di surga, yang kafir
masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin mendapat tempat yang lebih tinggi
di surga, mungkinkah itu ?
Al-Jubba’i : Tidak, karena yang mendapat tempat yang lebih baik itu
adalah yang mempunyai kepatuhannya kepada Tuhan, sedangkan yang kecil belum
mempunyai kepatuhan yang seperti itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “ Itu bukan
salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.”
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus
hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu engkau akan terkena hukum.
Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur
tanggung jawab.”
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa
depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak
jaga kepentinganku ?”
Dari pertanyaan ini Al-Jubba’i tidak bisa menjawabnya. Dari
sini jelas terlihat bahwa Al-Asy’ari semakin meragu pada faham Mu’tazilah.
Sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah.[4]
Setelah itu, Al-Asy’ari memposisikan
dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap
mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Diantaranya adalah Kitab al-Luma’
Fi al-Ard ‘ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ‘an Usul al-Dianah.
Al-Asy’ari menjelaskan
bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah,
Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi,
dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Perkembangan Pemikiran
Al-Asy'ari
Ada tiga
periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam
masalah akidah.
a.
Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran
Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung
kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti
seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan
kelebihannya.
b.
Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan
paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini
terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah
selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah
untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau
menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayah
(hidup), Al-Ilmu (ilmu), Al-Iradah
(berkehendak), Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama'
(mendengar), Al-Bashar
(melihat), dan Al-Kalam
(berbicara).
Sedangkan
sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode
Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat
Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya
diterima dan ditetapkan, tanpa takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah,
tangan dan kaki Allah), ta'thil (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan
dan kaki), tamtsil (menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan
sesuatu) dan tahrif (menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah
dengan makna). Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar
punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah
'an Ushulid-Diyanah”. Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari
menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar 300 buah buku.[5]
3.
Doktrin-doktrin teologi asy’ariyah :
a.
Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan
sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan
tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).[6]
dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis
(berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri,
tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari
esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.[7]
Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menolak
konsep Allah memiliki sifat-sifat (nafy ash-shifat) dan menganggap bahwa
sifat-sifat Allah adalah esensi-Nya.
b.
Kebebasan dalam Berkehendak (Free Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,
menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang
ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham kebebasan mutlak
dan berpendapat bahwa manusia menciptakannya sendiri, berbeda dengan Al-Asy’ari
yang membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan
(muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu
(termasuk keinginan manusia).[8]
c.
Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di
antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.[9]
d.
Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan
qadimnya Al-Qur’an, Mu’tazilah dan Jahamiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzhab
Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang
qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf,
kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.[10]
Dalam hal ini, Al-Asy’ari menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim
bukan hadits. Allah SWT. bersama sifat-Nya adalah qadim, tidak
berpemulaan ada-Nya. Kalam Allah SWT itu qadim diperdengarkan kepada
Malaikat Jibril as. sebagai wahyu. Kemudian Nabi Muhammad SAW. membacakannya
kepada para sahabat, dituliskan pada pelepah kurma, tulang atau kulit binatang,
kepingan batu dan sebagainya.
Kalau yang dikatakan makhluk dan hadits itu adalah huruf dan
suara yang tertulis di atas kertas, hal itu memang demikian. Akan tetapi Kalam
Allah SWT. yang berdiri pada Dzat-Nya yang qadim, tentu juga kalam yang
qadim.
Kalam Allah yang qadim adalah sifat Allah yang tidak
berhuruf dan tidak bersuara, itu dinamakan Kalam Nafsi. Adapun yang
tertulis dalam Al-Qur’an dan yang dibaca oleh umat Islam adalah mush madhlul
(bentuk yang dirupakan) dari Kalam Allah Swt. yang qadim tadi.
Karena itu, kalau orang berkeyakinan bahwa Kalam Allah itu sifat Allah yang
qadim yang berdiri di atas Dzat-Nya yang qadim, tentunya Al-Qur’an sebagai
Kalam-Nya adalah qadim juga.[11]
Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah
diciptakan, sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan Q.S An-Nahl ayat 40:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن
نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ –٤٠-
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami
Menghendakinya, Kami hanya Mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah
sesuatu itu”.
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun
ini perlu pula kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga
terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak
mungkin. Oleh karena itu, Al-Qur’an tak mungkin diciptakan.[12]
e.
Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim,
terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan
mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan
Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari
yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan
dapat dilihat bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.[13]
Al-Asy’ari berpendapat bahwa rukyatullah itu berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, serta menjelaskan takwil yang salah
terhadapnya yang dilakukan oelh orang-orang Mu’tazilah. Orang-orang Mukmin
memperoleh kenikmatan rukyatullah ini, sedangkan bagi orang-orang kafir
tidak menikmati penglihatan ini.
Difirmankan Allah Swt.:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَّمَحْجُوبُونَ -١٥
“Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
terhalang dari (melihat) Tuhan-nya. (Q.S. Al-Muthaffifin : 15)
Selanjutnya salah satu argumentasi Al-Asy’ari dalam menetapkan rukyatullah,
sebagai berikut.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ - إِلَى
رَبِّهَا نَاظِرَة
“Pada hari
akhir itu wajah mereka berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah ayat 22-23).
Kata “nazhara” (نظر) memang bisa diartikan memerhatikan dan
menunggu. Difrmankan Allah Swt.”:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ
خُلِقَتْ –١٧
“Apakah mereka
tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?.” (QS. Al-Ghasyiyah: 17)
Di dalam surat
Yasin, ayat 49, disebutkan bahwa:
مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً
-٤٩
“Tidaklah
mereka menunggu kecuali satu teriakan,” (QS. Yasin: 49)
Ayat 22-23
surat Al-Qiyamah, tidak bisa diartikan pemikiran atau perhatian, sebab
alam akhirat bukanlah pemikiran lagi. Disamping itu, melihat diartikan menunggu
tidak tepat, sebab pada surat Al-Qiyamah ayat 22-23 tersebut melihat dikaitkan
dengan kata wujuh.
Dengan
demikian, ayat-ayat tersebut hanya bisa diartikan melihat dengan kedua mata
kepala yang terdapat pada wajah seseorang. Jika melihat diartikan menunggu,
hal itu tidak mungkin terjadi di surga nanti. Sebab perkataan menunggu, mengandung
gambaran adanya kegelisan dan kegundahan hati. Padahal kehidupan di surga penuh
dengan kenikmatan yang abadi.[14]
f.
Keadilan Tuhan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu
adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia
harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah
Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan dari
visi manusia yang memliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah
adalah Pemilik Mutlak.[15]
g.
Kedudukan orang berdosa besar
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[16]
4.
Tokoh-tokoh Teologi Asy’ariyah
a.
Al-Baqillani
(wafat 403 H / 1013 M)
Namanya
Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, di duga kelahiran kota basrah, tempat kelahiran
gurunya,Al-Asy’ari. Ia cerdas otaknya, simpatik, dan banyak jasanya dalam
pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal ialah At-Tamhid ( pendahuluan /
persiapan).
Al-Baqillani
mengambil teori atom yang telah dibicarakan aliran Muktazilah dan di jadikan
dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Al-Baqillani juga
menyatakan bahwa mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan
(keluarbiasaan: kharq al’adah). Jadi hukum kausalitas (sebab musabab) tidak
ada. Yang ada hanyalah pergantian fenomena, yang boleh jadi juga berubah
macamnya, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pengingkaran
hukum kausalitas ini kemudian menjadi dasar utama aliran Asy’Ariyah, sehingga aliran
ini tidak segan-segan menuduh orang yang menganut hukum kausalitas dan
menghubungkan kekuatan bekerja/mewujudkan kepada sebab-sebab lahir, seperti
pendirian filosof-filosof dan materialis, telah menjadi kafir.
b.
Al-Juwaini
(419-478 H / 1028-1086 H)
Namanya
Abu al-Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota
Muaskar dan akhirnya sampai di kota Baghdad. Ia mengikuti jejak Al-Baqillani
dan Al-Asy’ari dalam menjunjung setinggi-tingganya kekuatan akal pikiran, suatu
hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadis.
Al-Juwaini
bekerja dalam lapangan usul fikih dan ilmu kalam. Ia adalah orang yang
pertama-tama membentuk fikih Syafi’i atas dasar aliran Asy’ari, sebagaimana
yang ditulis dalam kitabnya Al-Irsyad, berisi pokok-pokok kepercayaan. Al-Juwaini
mengemukakan alasan-alasan wajibnya penyelidikan tersebut. Akan tetapi ia
menentang golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa penyelidikan itu adalah
suatu kewajiban akal. Baginya, kewajiban tersebut sudah disepakati umat
seluruhnya, dan apa yang diwajibkan umat, hukumnya sama dengan yang datang dari
Syara’ sendiri. Dengan kata lain, kewajiban tersebut adalah kewajiban Syara’.
Tentang
sifat Tuhan, menurut Al-Juwaini, dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Sifat
nafsiyah, yaitu yang ada pada Zat Tuhan tanpa ilat (illat)
b. Sifat
ma’nawiyah, yaitu timbul sebagai kelanjutan sifat nafsiyah tersebut.
Sifat-sifat
Tuhan, Zat yang tidak dapat disaksikan, tidak bisa diketahui, kecuali dengan
melalui alam yang dapat kita saksikan. Ia mengemukakan empat soal yang dapat
berlaku pada kedua alam tersebut yaitu :
a.
Pertalian ilat
dengan ma’lul, seperti pengetahuan (ilmu) menjadi ilat seseorang mengetahui
b.
Pertalian syarat
dengan masyrut, seperti hidup menjadi syarat seseorang tahu
c.
Hakikat atau
tabiat, misalnya hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai ilmu
(pengetahuan)
d.
Dalil: kalau
sesuatu dalil menurut keharusan akal menunjukkan adanya sesuatu pada alam
lahir, maka demikian pula pada alam yang bukan lahir, seperti penciptaan
menunjukan adanya pencipta.
c.
Al-Ghazali
(450-505 H)
Nama
lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Di lahirkan di kota Tus,
kota di negeri khurrasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini. Jabatan yang pernah
dipegangnya ialah mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad.
Al-Ghazali
adalah seorang ahli pikir Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya.
Kegiatan ilmiahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal (ilmu
berdebat), fikih dan usulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf.
Kedudukan
Al-Ghazali dalam aliran Asy-Ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau
semua persoalaan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapat yang hingga
kini masih dipegangi ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapat gelar
Hujjatul Islam (Tokoh Islam).
Beberapa
kitabnya berisi pernyataan tidak simpatik terhadap ilmu kalam. Ia mengatakan
bahwa pembicaraan para mutakalimin didasarkan atas alasan-alasan yang datangnya
dari lawannya atau diambil dari nas Quran dan Hadis semata-mata.
Bagaimanapun
juga sikap Al-Ghazali terhadap ilmu kalam, namum ia masih tetap setia kepada
pokok-pokok persoalaan yang pernah dibahas oleh Al-Asy’ari, disamping
memperluas dan memperdalam lapangan pembicaraannya dan memperbaharui metodenya.
Dalam
soal metode ia menggunakan logika Aristoteles dan ia adalah orang yang
pertama-tama mempergunakannya, meskipun Al-Juwaini sebelum dia, telah membuka
jalan kea rah itu. Karena pemikiran / penyelidikannya bebas luas, lebih tepat
kalau dikatakan bahwa ia bukan pengikut Asy’ariyah atau aliran lainnya. Karena
itu, meskipun ia sering sependapat dengan Asy’ari, namum kadangkala ia beda
pendapat dengannya[17]
D.
Kesimpulan
1.
Asy’ariyah adalah salah satu aliran
dalam teologi islam yang namanya dinisbahkan kepada pendirinya yaitu
Al-Asy’ari. Sebelumnya, Al-Asy’ari adalah pengikut Mu’tazilah, namun setelah ia
mengalami keraguan dengan ajaran Mu’tazilah dan mengalami mimpi bertemu
Rasulullah, ia keluar secara tiba-tiba dari aliran Mu’tazilah.
2.
Perkembangan pemikiran Al-Asy’ari
dibagi menjadi tiga periode. Pada periode pertama, ia masih di bawah pengaruh Mu’tazilah. Periode
kedua, ia mulai ragu dengan ajaran Mu’tazilah setelah merenung selama 15 hari
dan beristiharah kepada Allah Swt. Ia juga menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal. Sedangkan
periode ketiga, ia menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya.
3.
Diantara pemikiran-pemikiran teologi Asy’ariyah
adalah sebagai berikut:
a.
Tuhan dan sifat-sifat-Nya : Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan
sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan
tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
b.
Kebebasan dalam berkehendak : Allah
adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakan (muktasib).
c.
Akal dan Wahyu dan kriteria baik
dan buruk : Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, daripada
akal. Dalam menentukan baik buruk pun harus berdasarkan pada wahyu.
d.
Qadimnya
Al-Qur’an : Al-Asy’ari menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim dan tidak diciptakan.
e.
Melihat
Allah : Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan
f.
Keadilan
Tuhan : Al-Asy’ari menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mu’tazilah.
Menurut Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib
bagi-Nya.
g.
Kedudukan
orang berdosa besar : Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa
besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa
selain kufur. Ia menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
4.
Tokoh-tokoh Asy’ariah diantaranya
yaitu : Al-Baqillani, Al-Juwaini, dan Al-Ghazali.
E.
Daftar Pustaka
A.
Nasir, Sahikun. Pemikiran Kalam
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Rozak,
Abdul dan Rosihan Anwar. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Press
Hanafi, Ahmad. 1992. Pengantar Teologi Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna
Sarkowi, 2010. Teologi Islam Klasik. Malang: ReSIS Literacy
[1] Sarkowi, Teologi
Islam Klasik, ReSIS Literacy, Malang, 2010, hlm.70-71
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar
Teologi Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992, hlm.104
[3] Abdul Rozak,
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka
Setia, Bandung, 2007, hlm.119
[4] Sarkowi, Teologi
Islam Klasik, ReSIS Literacy, Malang, 2010, hlm.72-73
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar
Teologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 2003, hlm.
[6] Harun Nasution,
Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm.71
[7] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka
Setia, Bandung, 2009, hlm.121
[11] Sahikun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.217-218
[12] Harun Nasution,
Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm.70
[13] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka
Setia, Bandung, 2009, hlm 123
[14] Sahikun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.235-237
[15] Abdul Rozak, Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia,
Bandung, 2009, hlm.123-124
[17] Ahmad Hanafi, Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Bulan Bintang, Jakarta, 2010, 70-76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar