Sabtu, 09 Juni 2012

asy ariah




A.      Pendahuluan
1.        Latar Belakang
Dasar dari setiap agama adalah keyakinan, yakni keyakinan terhadap adanya Tuhan dan segala aspek yang berhubungan dengan-Nya. Dalam agama Islam, keyakinan disebut dengan akidah yang di dalamnya ada ajaran tauhid, yaitu mengakui keesaan Allah Swt. Agama lain pun terdapat ajaran-ajaran mengenai ketuhanan yang biasa disebut dengan teologi.
Istilah teologi bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang karena dilihat segi pengertian, teologi sama seperti ilmu tauhid atau ilmu kalam. Teologi Islam secara garis besar membahas tentang aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dengan mempelajarinya, maka akan semakin menguatkan keyakinan pada diri seseorang dan agar tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam teologi Islam, muncul aliran-aliran yang bergelut dalam pembahasan ketuhanan. Salah satu aliran yang paling dikenal dan diajarkan di Indonesia adalah aliran Asy’ariyah. Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas aliran Asy’ariyah baik dari segi sejarah, pemikiran-pemikiran, dan tokoh-tokohnya.
2.        Tujuan Penelitian
a.    Untuk memahami sejarah terbentuknya Asy’ariyah dan riwayat hidup Al-Asy’ari
b.    Untuk memahami perkembangan Asy’ariyah
c.    Untuk mengidentifikasi doktrin-doktrin Asy’ariyah
d.   Untuk mengenal lebih jauh tokoh-tokoh Asy’ariyah
B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana sejarah terbentuknya teologi asy’ariyah dan riwayat hidup Al-Asy’ari?
2.        Bagaimana perkembangan pemikiran Al-Asy’ari ?
3.        Bagaimana pemikiran Al-Asy’ari mengenai :
a.    Tuhan dan sifat-sifatNya ?
b.    Kebebasan dalam berkehendak (Free Will) ?
c.    Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk ?
d.   Qadimnya al-Qur’an ?
e.    Melihat Allah ?
f.     Keadilan Tuhan ?
g.    Kedudukan orang berdosa besar ?
4.        Siapa saja tokoh-tokoh teologi Asy’ariyah ?

C.  Pembahasan
1.    Sejarah Terbentuknya Teologi Asy’ariyah dan Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Nama aliran ini disandarkan kepada pendirinya, yaitu Al-Asy’ari. Pengikut dan pendukung kelompok ini diebut kelompok atau golongan Asy’ariyah. Aliran ini banyak dianut oleh orang muslim yang bermadzhab Syafi’i.
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Is’mail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M. Ayah Al-Asy’ari meninggal ketika ia masih kecil. Ketika Al-Asy’ari berumur 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M. Menurut Ibn Assakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunah, selain itu ia juga seorang ahli hadits. Namun sepeninggal ayah Al-Asy’ari, ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Juba’i. Al-Asy’ari kecil dididik oleh ayah tirinya yang berfaham Mu’tazilah, sehingga ia menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah. Al-Asy’ari sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain berguru kepada ayah tirinya, ia juga berguru kepada ulama lain tentang hadits, fiqih, tafsir dan bahasa.[1]
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan para jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H[2]
Penyebab Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah adalah pengakuannya bermimpi melihat Rasulullah dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan.[3]
Penyebab lain adalah ia berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu, guru tak dapat menjawab tantangan murid. Kutipan perdebatan tersebut sebagai berikut:
Al-Asy’ari           : Bagaimana kedudukan seorang mukmin, kafir dan anak kecil di        akhirat?
Al-Jubba’i            : Yang mukmin mendapat tingkat baik di surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari           : Kalau yang kecil ingin mendapat tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu ?
Al-Jubba’i            : Tidak, karena yang mendapat tempat yang lebih baik itu adalah yang mempunyai kepatuhannya kepada Tuhan, sedangkan yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang seperti itu.
Al-Asy’ari           : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “ Itu bukan salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.”
Al-Jubba’i            : Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu engkau akan terkena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”
Al-Asy’ari           : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku ?”
Dari pertanyaan ini Al-Jubba’i tidak bisa menjawabnya. Dari sini jelas terlihat bahwa Al-Asy’ari semakin meragu pada faham Mu’tazilah. Sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah.[4] 
Setelah itu, Al-Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Diantaranya adalah Kitab al-Luma’ Fi al-Ard ‘ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ‘an Usul al-Dianah.
Al-Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Perkembangan Pemikiran Al-Asy'ari
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a.    Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b.   Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayah (hidup), Al-Ilmu (ilmu), Al-Iradah (berkehendak), Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar (melihat), dan Al-Kalam (berbicara).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c.    Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah), ta'thil (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki), tamtsil (menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu) dan tahrif (menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna). Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah”. Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar 300 buah buku.[5]
3.        Doktrin-doktrin teologi asy’ariyah :
a.        Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).[6] dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.[7]
Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menolak konsep Allah memiliki sifat-sifat (nafy ash-shifat) dan menganggap bahwa sifat-sifat Allah adalah esensi-Nya.
b.        Kebebasan dalam Berkehendak (Free Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakannya sendiri, berbeda dengan Al-Asy’ari yang membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[8]       
c.         Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.[9]
d.        Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an, Mu’tazilah dan Jahamiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.[10]
Dalam hal ini, Al-Asy’ari menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim bukan hadits. Allah SWT. bersama sifat-Nya adalah qadim, tidak berpemulaan ada-Nya. Kalam Allah SWT itu qadim diperdengarkan kepada Malaikat Jibril as. sebagai wahyu. Kemudian Nabi Muhammad SAW. membacakannya kepada para sahabat, dituliskan pada pelepah kurma, tulang atau kulit binatang, kepingan batu dan sebagainya.
Kalau yang dikatakan makhluk dan hadits itu adalah huruf dan suara yang tertulis di atas kertas, hal itu memang demikian. Akan tetapi Kalam Allah SWT. yang berdiri pada Dzat-Nya yang qadim, tentu juga kalam yang qadim.
Kalam Allah yang qadim adalah sifat Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, itu dinamakan Kalam Nafsi. Adapun yang tertulis dalam Al-Qur’an dan yang dibaca oleh umat Islam adalah mush madhlul (bentuk yang dirupakan) dari Kalam Allah Swt. yang qadim tadi. Karena itu, kalau orang berkeyakinan bahwa Kalam Allah itu sifat Allah yang qadim yang berdiri di atas Dzat-Nya yang qadim, tentunya Al-Qur’an sebagai Kalam-Nya adalah qadim juga.[11]
Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan Q.S An-Nahl ayat 40:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ –٤٠-
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami Menghendakinya, Kami hanya Mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu”.
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh karena itu, Al-Qur’an tak mungkin diciptakan.[12]
e.         Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[13]
Al-Asy’ari berpendapat bahwa rukyatullah itu berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, serta menjelaskan takwil yang salah terhadapnya yang dilakukan oelh orang-orang Mu’tazilah. Orang-orang Mukmin memperoleh kenikmatan rukyatullah ini, sedangkan bagi orang-orang kafir tidak menikmati penglihatan ini.
Difirmankan Allah Swt.:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ -١٥
“Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan-nya. (Q.S. Al-Muthaffifin : 15)
Selanjutnya salah satu argumentasi Al-Asy’ari dalam menetapkan rukyatullah, sebagai berikut.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ - إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَة
“Pada hari akhir itu wajah mereka berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah ayat 22-23).
Kata “nazhara” (نظر) memang bisa diartikan memerhatikan dan menunggu. Difrmankan Allah Swt.”:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ –١٧
“Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?.” (QS. Al-Ghasyiyah: 17)
Di dalam surat Yasin, ayat 49, disebutkan bahwa:
مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً -٤٩
“Tidaklah mereka menunggu kecuali satu teriakan,” (QS. Yasin: 49)
Ayat 22-23 surat Al-Qiyamah, tidak bisa diartikan pemikiran atau perhatian, sebab alam akhirat bukanlah pemikiran lagi. Disamping itu, melihat diartikan menunggu tidak tepat, sebab pada surat Al-Qiyamah ayat 22-23 tersebut melihat dikaitkan dengan kata wujuh.
Dengan demikian, ayat-ayat tersebut hanya bisa diartikan melihat dengan kedua mata kepala yang terdapat pada wajah seseorang. Jika melihat diartikan menunggu, hal itu tidak mungkin terjadi di surga nanti. Sebab perkataan menunggu, mengandung gambaran adanya kegelisan dan kegundahan hati. Padahal kehidupan di surga penuh dengan kenikmatan yang abadi.[14]
f.         Keadilan Tuhan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan dari visi manusia yang memliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.[15]
g.        Kedudukan orang berdosa besar
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[16]
4.        Tokoh-tokoh Teologi Asy’ariyah 
a.        Al-Baqillani (wafat 403 H / 1013 M)
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, di duga kelahiran kota basrah, tempat kelahiran gurunya,Al-Asy’ari. Ia cerdas otaknya, simpatik, dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal ialah At-Tamhid ( pendahuluan / persiapan).
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan aliran Muktazilah dan di jadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Al-Baqillani juga menyatakan bahwa mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan (keluarbiasaan: kharq al’adah). Jadi hukum kausalitas (sebab musabab) tidak ada. Yang ada hanyalah pergantian fenomena, yang boleh jadi juga berubah macamnya, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pengingkaran hukum kausalitas ini kemudian menjadi dasar utama aliran Asy’Ariyah, sehingga aliran ini tidak segan-segan menuduh orang yang menganut hukum kausalitas dan menghubungkan kekuatan bekerja/mewujudkan kepada sebab-sebab lahir, seperti pendirian filosof-filosof dan materialis, telah menjadi kafir.
b.        Al-Juwaini (419-478 H / 1028-1086 H)
Namanya Abu al-Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Muaskar dan akhirnya sampai di kota Baghdad. Ia mengikuti jejak Al-Baqillani dan Al-Asy’ari dalam menjunjung setinggi-tingganya kekuatan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadis.
Al-Juwaini bekerja dalam lapangan usul fikih dan ilmu kalam. Ia adalah orang yang pertama-tama membentuk fikih Syafi’i atas dasar aliran Asy’ari, sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Al-Irsyad, berisi pokok-pokok kepercayaan. Al-Juwaini mengemukakan alasan-alasan wajibnya penyelidikan tersebut. Akan tetapi ia menentang golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa penyelidikan itu adalah suatu kewajiban akal. Baginya, kewajiban tersebut sudah disepakati umat seluruhnya, dan apa yang diwajibkan umat, hukumnya sama dengan yang datang dari Syara’ sendiri. Dengan kata lain, kewajiban tersebut adalah kewajiban Syara’.
Tentang sifat Tuhan, menurut Al-Juwaini, dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.    Sifat nafsiyah, yaitu yang ada pada Zat Tuhan tanpa ilat (illat)
b.    Sifat ma’nawiyah, yaitu timbul sebagai kelanjutan sifat nafsiyah tersebut.
Sifat-sifat Tuhan, Zat yang tidak dapat disaksikan, tidak bisa diketahui, kecuali dengan melalui alam yang dapat kita saksikan. Ia mengemukakan empat soal yang dapat berlaku pada kedua alam tersebut yaitu :
a.         Pertalian ilat dengan ma’lul, seperti pengetahuan (ilmu) menjadi ilat seseorang mengetahui
b.        Pertalian syarat dengan masyrut, seperti hidup menjadi syarat seseorang tahu
c.         Hakikat atau tabiat, misalnya hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai ilmu (pengetahuan)
d.        Dalil: kalau sesuatu dalil menurut keharusan akal menunjukkan adanya sesuatu pada alam lahir, maka demikian pula pada alam yang bukan lahir, seperti penciptaan menunjukan adanya pencipta.
c.         Al-Ghazali (450-505 H)
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Di lahirkan di kota Tus, kota di negeri khurrasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya. Kegiatan ilmiahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal (ilmu berdebat), fikih dan usulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy-Ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalaan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapat yang hingga kini masih dipegangi ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapat gelar Hujjatul Islam (Tokoh Islam).
Beberapa kitabnya berisi pernyataan tidak simpatik terhadap ilmu kalam. Ia mengatakan bahwa pembicaraan para mutakalimin didasarkan atas alasan-alasan yang datangnya dari lawannya atau diambil dari nas Quran dan Hadis semata-mata.
Bagaimanapun juga sikap Al-Ghazali terhadap ilmu kalam, namum ia masih tetap setia kepada pokok-pokok persoalaan yang pernah dibahas oleh Al-Asy’ari, disamping memperluas dan memperdalam lapangan pembicaraannya dan memperbaharui metodenya.
Dalam soal metode ia menggunakan logika Aristoteles dan ia adalah orang yang pertama-tama mempergunakannya, meskipun Al-Juwaini sebelum dia, telah membuka jalan kea rah itu. Karena pemikiran / penyelidikannya bebas luas, lebih tepat kalau dikatakan bahwa ia bukan pengikut Asy’ariyah atau aliran lainnya. Karena itu, meskipun ia sering sependapat dengan Asy’ari, namum kadangkala ia beda pendapat dengannya[17]
D.      Kesimpulan
1.        Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi islam yang namanya dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Al-Asy’ari. Sebelumnya, Al-Asy’ari adalah pengikut Mu’tazilah, namun setelah ia mengalami keraguan dengan ajaran Mu’tazilah dan mengalami mimpi bertemu Rasulullah, ia keluar secara tiba-tiba dari aliran Mu’tazilah.
2.        Perkembangan pemikiran Al-Asy’ari dibagi menjadi tiga periode. Pada periode pertama, ia  masih di bawah pengaruh Mu’tazilah. Periode kedua, ia mulai ragu dengan ajaran Mu’tazilah setelah merenung selama 15 hari dan beristiharah kepada Allah Swt. Ia juga menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal. Sedangkan periode ketiga, ia menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
3.        Diantara pemikiran-pemikiran teologi Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a.       Tuhan dan sifat-sifat-Nya : Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
b.       Kebebasan dalam berkehendak : Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib).
c.       Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk : Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, daripada akal. Dalam menentukan baik buruk pun harus berdasarkan pada wahyu.
d.      Qadimnya Al-Qur’an : Al-Asy’ari menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim dan tidak diciptakan.
e.       Melihat Allah : Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan
f.       Keadilan Tuhan : Al-Asy’ari menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mu’tazilah. Menurut Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya.
g.      Kedudukan orang berdosa besar : Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Ia menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
4.        Tokoh-tokoh Asy’ariah diantaranya yaitu : Al-Baqillani, Al-Juwaini, dan Al-Ghazali.

E.       Daftar Pustaka
A. Nasir,  Sahikun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press
Hanafi, Ahmad. 1992. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Sarkowi, 2010. Teologi Islam Klasik. Malang: ReSIS Literacy





[1] Sarkowi, Teologi Islam Klasik, ReSIS Literacy, Malang, 2010, hlm.70-71
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992, hlm.104
[3] Abdul Rozak, Rosihan Anwar,  Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm.119
[4] Sarkowi, Teologi Islam Klasik, ReSIS Literacy, Malang, 2010, hlm.72-73

[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 2003, hlm.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.71
[7] Abdul Rozak,  Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.121
[8] Ibid., hlm.122
[9] Ibid., hlm.122
[10] Ibid., hlm.122
[11] Sahikun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.217-218
[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.70
[13] Abdul Rozak,  Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm 123
[14] Sahikun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.235-237
[15] Abdul Rozak, Rosihan Anwar,  Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.123-124
[16] Ibid, hlm.124
[17] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Bulan Bintang, Jakarta, 2010, 70-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar