Sabtu, 31 Maret 2012

Status Ayah dan Ibu Rasulullah, Muslim atau Kafir?



Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang memiliki kemuliaan dan derajat yang tinggi,baik di langit maupun di bumi. Kemuliaannya diakui oleh Alloh SWT dengan pernyataanNya,Innaka la ‘ala khuluqin ‘adhim, sesungguhnya Engkau (ya,Muhammad) berada diatas akhlak yang agung (QS.Al Qolam 4).Jika yang kecil menyifati sesuatu dengan ‘agung’,yang dewasa belum tentu menganggapnya agung.Tetapi jika Yang Maha Besar Alloh yang menyifati sesuatu dengan kata agung,maka tidak dapat terbayangkan betapa besar keagungannya.Dan sudah tentu,makhluk yang agung tidak keluar kecuali dari rahim yang agung pula !

Nabi Muhammad SAW adalah penghuni bumi yang paling baik nasabnya secara mutlak. Nasab beliau dari segi kemuliaan berada di puncaknya. Musuh-musuh beliau memberi pengakuan untuknya atas hal tersebut. Diantara musuh beliau yang memberikan pengakuan akan indahnya nasab beliau adalah Abu Sufyan(sebelum masuk islam), yang dikala itu berhadapan denga penguasa Romawi. Kaum yang paling mulia adalah kaumnya,kabilah yang paling mulia adalah kabilahnya dan marga yang paling mulia adalah marganya (Ibnu Qoyyim al Jauziyah,Zaadul Ma’ad,I/32)

Dan Rasulullah pernah bersabda,”Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang yang suci kedalam rahim-rahim wanita yang suci pula”(Dinukil oleh Al Hamid Al Husaini,dalam bukunya Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah,hal.600-601).Itu artinya Nabi saw adalah manusia tersuci yang telah disiapkan kelahirannya dengan membuatnya keluar dari rahim yang suci pula,yaitu Aminah ra.

Dinukil oleh Ibnul Jauzi,dalam kitab Al Wafa’ (terjemahan),hal.74 :Abdurrahman bin ‘Auf berkata,”Ketika Rasulullah saw dilahirkan,ada jin yang berbicara di bukit Abu Qubais di daerah ‘Ujun- yang pada mulanya tempat itu adalah sebuah kuburan dan orang-orang Quraisy merusakkan pakaian mereka di daerah itu-.Jin itu berkata dengan syair berikut :

“Aku bersumpah tidak seorang pun dari golongan manusia yang telah melahirkan Muhammad selain ia (Aminah).

Seorang wanita dari suku Zuhrah yang memiliki sifat-sifat terpuji dan selamat dari kecelaan para suku-suku, bahkan mereka memujinya.

Wanita itu telah melahirkan manusia terbaik yaitu Ahmad.
Orang yang terbaik itu dimuliakan
Serta orangtuanya pun dimuliakan juga”…

Bahkan Nabi SAW pernah menjelaskan bahwa nasabnya adalah suci (ayah-ayahnya adalah keturunan manusia yang suci),”Saya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthollib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar. Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali saya berada diantara yang terbaik dari keduanya. Maka saya lahir dari ayah – ibuku dan tidaklah saya terkena ajaran jahiliyyah dan saya terlahir dari pernikahan (yang sah).Tidaklah saya dilahirkan dari orang yang jahat sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka saya adalah pemilik nasab yang terbaik diantara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah” (Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah dan Imam Hakim dari Anas ra.) Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya juz 2,hal.404 dan juga oleh Imam Ath Thobari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.

Juga sabda Nabi SAW,”Saya adalah Nabi yang tidak berdusta, Saya adalah putra Abdul Mutholib.”(HR.Bukhori no.2709,2719,2772,Shahih Muslim no.1776)

Lihatlah dari hadis-hadis diatas,nampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orang tua Nabi adalah orang-orang kafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan kedua orang tuanya sebagai nasab yang terbaik.Bagaimana mungkin ada manusia yang tega mengatakan orang tua,bapak atau ibu Nabi saw lagi disiksa di neraka?Sungguh itu sama halnya menyakiti hati Nabi saw.

Demikian juga ucapan Nabi SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di peperangan Uhud ketika beliau SAW melihat seorang kafir membakar seorang muslim,maka Rasulullah SAW bersabda kepada Sa’ad,”Panahlah dia,jaminan keselamatanmu adalah Ayah dan ibuku!’, maka Sa’ad berkata dengan gembira,’Rasulullah SAW mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!’ “(HR Bukhori,Bab. Manaqib Zubair bin Awam no.3442,hadis no.3446, Bab.Manaqib Sa’ad bin Abi Waqqosh Al-Zuhri.)

Bagaimana mungkin Sa’ad berbahagia disatukan dengan orang tua Rasulullah,jika keduanya orang-orang musyrik??

Maka apa kata dunia? Jika nabinya ummat Islam lahir dari rahim perempuan musyrik? Padahal Isa as. Lahir dari rahim perempuan yang suci!!.Apa kata dunia jika Nabinya ummat islam lahir dari rahim perempuan kafir?Padahal banyak perempuan yang beriman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan,sedangkan Rasul keistimewaannya diakui di dunia langit maupun bumi lahir dari perempuan musrik?. Sungguh tidak logis!!

Sungguh harus dipertimbangkan pendapat tentang kemusyrikan orang tua Nabi !

Ahlul Fatrah

Adalah suatu masa dimana terjadi kekosongan nubuwwah dan risalah. Seperti orang-orang jahiliyyah yang belum datang kepada mereka risalah kenabian,maka mereka masuk kategori ahlu fatrah,yang mereka termasuk ahli surga juga. (Prof.DR.Wahbah Zuhaili,tafsir Al Munir,juz 8, hal.42)

Hal itu berdasarkan firman Alloh QS. Al Isro’ 15 yang artinya,”Kami tidaklah mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus (kepada mereka) seorang rasul”

Dari ayat itu, maka orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalah Ahlu fatrah yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Alloh adalah mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkannya.

Dan dari ayat itu pula,dapat dipahami bahwa keluarga nabi saw sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi dan Rasul,adalah termasuk ahlu fatrah.Dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan kepada orang-orang musrik atau kafir.

Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi saw menangis dipusara ibunya?. Dan hadis tersebut dikaitkan sebagai asbabun nuzul ayat 113 dari QS .At Taubah; “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun[kepada Alloh] bagi orang-orang musyrik,walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),sesudah jelas bagi mereka,bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam”.??

Beberapa ulama’ (salah satunya Ibn Katsir,Mukhtashor li Ali as Shobuni,juz 2,hal.173),menyebutkan sebuah riwayat,bahwa rasulullah saw. Suatu ketika berziarah ke kuburan dan menangis tersedu-sedu.Sayidina Umar bertanya tentang sebab tangis beliau.Beliau menjawab,”Aku menangis di kubur ibuku,Aminah. Aku memohon kepada Alloh kiranya beliau diampuni,tetapi alloh tidak memperkenankan dan turun kepadaku firmanNya (At Taubah 113-114). Aku sedih dan kasihan kepada ibuku, dan itulah yang menjadikan aku menangis”(HR.Ibn Hibbah,Abi Alatim dan Al Hakim melalui Ibn Mas’ud). Riwayat ini dinilai dhoif oleh pakar hadis Adz Dzahabi,karena dalam renteten perawinya terdapat nama Ayyub yang berstatus lemah (Prof.DR.Quraish Shihab,Al Misbah ,jilid 5,hal.735).Dan pakar tafsir lainnya seperti DR.Wahbah Zuhaily mengomentari ulama yang menyatakan hadis tersebut sebagai sebab turunnya ayat 113,QS at Taubah,dengan komentar bahwa itu jauh dari fakta sebab orang tua Rasul hidup di masa fatrah,sehingga tidak tepat hadis tentang tangisan nabi saw dipusara ibunya sebagai sebab turunnya ayat tersebut.[lihat tafsir Al Munir ,juz 6,hal 64]

Dan banyak lagi hadis yang senada dengan itu,namun dengan redaksi yang berbeda,seperti yang diriwayatakan,Ahmad,Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairoh. Dan jika kita terima kesahihan hadis tangisan Nabi diatas kuburan ibunya tersebut,maka ada beberapa hal harus dipertimbangkan untuk membatalkan hadis tersebut sebagai dalil kemusyrikan Ibu nabi SAW,sebagai berikut:

1. 1. Hadis tersebut secara manthuq (tekstual) tidak menyebut kekafiran atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas.Sehingga agak ceroboh kalau dengan ketidak jelasan manthuq hadis tersebut langsung menyatakan kemusrikan ibunda Nabi saw.

2. 2. Hadis-hadis tersebut yang menyatakan bahwa kejadian rasulullah menangis di kuburan ibunya di kota Mekkah,menurut ibnu Sa’ad berita itu salah,sebab makam ibu Nabi itu bukan di Mekkah tapi di ‘Abwa (suatu wilayah yang masih masuk kota Madinah). (Al Wafa’,ibn Al Jauzi,terjemahan hal.96, Lihat juga Zaadul Ma’ad jilid I,hal.36 terkait dalil tempat wafatnya ibunda Nabi saw).

3. 3. Hadis-hadis tersebut termasuk hadis ‘Inna Abiy wa abaaka finnar (Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (HR.Muslim) dibatalkan (mansukh) oleh QS.Al Isra’ 15.”Dan Kami tidak mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus(kepada mereka) seorang rasul”(rujuklah pada Masaalikul Hunafa Fii Hayaati Abawayyil Musthofa,karya Imam As Suyuthi,hal.68).Alasan pembatalannya adalah mereka ayah dan ibunda Nabi saw hidup sebelum ada risalah nubuwwah,karena itu mereka termasuk ahlu fatrah yang terbebas dari syari’at Rasululloh saw.

4. 4. Khusus hadis riwayat Muslim,Inna Abiy wa Abaaka fin Nar/Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka,adalah bahwa yang dimaksud Abi di hadis tersebut adalah paman.Karena kebiasaan Alloh didalam al Quran,sering ketika ada kata-kata Abun,maka yang dimaksud adalah bukan orang tua kandung.Alloh berfirman dalam QS.Al Baqoroh 133,yang artinya ; “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub mau meninggal,ketika Ia berkata kepada anak-anaknya;Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab;’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu,Ibrahim,Isma’il dan Ishaq,yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” Padahal Ayah Ya’qub adalah Ishaq bukan Ibrahim atau Ismail.Namun Alloh menyebutkan Ibrahim dan Ismail sebagai Aaba’(ayah-ayah) dari Ya’qub,maksudnya adalah kakek atau paman dari Ya’qub.Dan untuk penyebutan orang tua kandung,biasanya Al quran menggunakan kata Waalid.Sebagaimana Alloh berfirman; “Robbanagh Fir Li Wa Li Waliidayya…/Ya Tuhan Kami Ampunilah aku dan ibu bapakku…”.QS.Ibrahim 41

5. 5. Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nash hadis lain seperti yang kami tulis diatas,bahwa nabi lahir dari nasab yang suci.

6. 6. Dikatakan oleh Al Qadhiy Abu Bakar Al A’raabiy bahwa orang yang mengatakan orang tua Nabi saw di neraka, mereka di laknat oleh Allah swt, sebagaimana FirmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab: 57)Berkata Qadhiy Abu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW ketika dikatakan bahwa ayahnya atau orang tuanya berada di neraka, dan Nabi saw bersabda : ‘Janganlah kalian menyakiti yang hidup karena sebab yang telah wafat.’ (Masalikul Hunafa’ Fii Hayaati Abawayyil Musthofa, hal. 75 lil Imam Suyuthi)

Demikian pendapat ulama bahwa orang tua Nabi SAW bukan orang-orang musyrik, karena wafat sebelum kebangkitan Risalah dan menjadi ahli fatrah, dan tak ada pula nash yg menjelaskan mereka sebagai menyembah berhala. Diantara Ulama yang berpendapat bahwa orang tua Nabi bukan musyrik menurut Al Habib Munzhir bin Fuad Al Musawa adalah :
Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii, Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi, Al Hafidh Al Imam Assakhawiy, Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw, Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin, Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy, Al hafidh Al Imam At thabari, Al hafidh Al Imam Addaruquthniy dan masih banyak lagi yang lainnya.

Jilbab Sebagai Penutup Aurat atau Hanya Membalut Aurat...?


Jilbab bukan lagi menjadi kata yang asing didengar, terlebih belakangan ini, di mana wanita muslimah berbondong-bondong untuk mengenakan jilbab – dengan prasangka baik – bahwa mereka melakukannya sebagai wujud ketaatan akan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ada perasaan nyaman bagi sebagian orang yang mengenakannya, karena pakaian yang dikenakannya akan meninggalkan kesan yang ‘lebih Islami’, terlepas dari cara dan mode pakaian yang dia kenakan.

Yang tidak banyak disadari, atau mungkin lebih sering diabaikan, bahwa jilbab bukan sekedar mengenakan pakaian lengan panjang, betis tertutup hingga tumit, dada dan leher terhalang dari padangan orang. Bahwa jilbab bukan sekedar membalut anggota-anggota tubuh yang tidak semertinya terlihat selain mahram. Tidak, Jilbab lebih dari itu!

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS Al-Ahzab [33] : 59)

Jilbab sejatinya adalah ‘body covering’, penutup tubuh (aurat) yang akan melindungi seorang wanita, dari pandangan dan penilaian orang lain, khususnya laki-laki, dan bukannya ‘body shaping’, pembalut tubuh yang menampilkan seluruh lekuk liku tubuh seorang wanita, membuat orang menoleh kepadanya.

Jilbab, di tangan wanita muslimah masa kini, telah kehilangan esensinya. Seperti komentar seorang rekan kerja dulu, ketika melihat dua orang gadis remaja berboncengan dengan jilbab yang serba ketat, “Yah.. jilbab sekarang kan untuk membalut aurat, bukan untuk menutup aurat!”

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” (QS An-Nuur [24] : 31)

Saat ini, di tangan wanita muslimah masa kini, jilbab itu sendiri adalah perhiasan. Sebagian orang yang mengenakannya justru mengundang orrang (baca: laki-laki) untuk melihatnya, Betapa tidak, pakaian terututup yang serba ketat justru menggoda orang ingin tahu apa yang ada di baliknya. Baju model baby doll berlengan pendek, dipadu dengan manset dan jeans atau bicycle pants super ketat, atau jenis pakaian ketat yang menampilkan lekuk tubuh lainnya. Jika sudah begitu lalu apa bedanya dengan pakaian yang lainnya? Tambahan sepotong kain yang dililitkan pada kepala dan leher tidak menjadikan sebuah pakaian dikatakan berjilbab, karena toh yang memakainya masih terlihat seperti telanjang. Padahal Rasulullah telah memberikan peringatan keras, kepada para wanita yang berpakaian tetapi telanjang:
“Ada dua golongan penduduk neraka yang sekarang saya belum melihat keduanya, yaitu: wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan memiringkan kepalanya seperti punuk unta, dimana mereka tidak akan masuk surga, bahkan mencium baunya pun tidak bisa” (HR Muslim dan Ahmad)


Hadits ini telah diabaikan, entah karena tidak tahu, atau mungkin tidak diperdulikan! Atau mungkin terlalu takut untuk mengetahui kebenaran yang akan menyebabkannya merasa terasing dari masyarakat, lalu membuatnya mentup mata, hati dan telinga. Atau bahkan yang lebih mengerikan lagi, dengan sengaja memberikan penafsiran berbeda mengenai perintah untuk menutup aurat itu, demi memenuhi hawa nafsunya!

Aduhai, entah kemana perginya rasa takut itu, seolah-olah kehidpan di dunia ini akan berlangsung selamanya dan ancaman manusia mulia, hamba dan utusan Allah untuk memberikan peringatan kepada manusia, tidak berarti apa-apa kecuali hanya sekedar gertak sambak! Na’udzubillah! Entah kemana perginya rasa malu yang seharusnya bermanifestasi pada prilaku dan cara berpakaian? Sebagian besar kita justru terlena pada penilaian kebanyakan orang. “Berjilbab bukan berarti ketinggalan zaman.” Atau, “Dengan jilbab pun bisa tampil modis dan trendi.” Entah mengapa, kita menjadi latah dengan penilaian orang kafir, mengenakan jilbab syar’I adalah symbol keterbelakangan, bahkan yang lebih menyedihkan lagi yang terjadi akhir-akhir ini, jilbab besar adalah cirri aliran sesat dan pengikut paham esktrimis!

Islam telah memuliakan wanita, menjaga kehormatan wanita dengan menetapkan batasan-batassannya, bukan untuk menjadikan wanita terkekang, sebaliknya bahkan untuk melindungi kaum wanita. Tubuh seorang wanita adalah milik pribadinya, bukan properti umum yang dapat dilirik, ditaksir dan diberikan penilaian. Wanita sejatinya adalah individu yang bebas, ketika dia mengikuti apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya bagi dirinya. Jangan mengira bahwa wania-wanita yang tampil trendi itu adalah orang-orang yang memiliki lebebasam memilih, karena toh mereka terkungkung oleh pandangan orang lain. Sederhana sekali, jika seseorang atau beberapa orang mengatakan kepada anda “kamu cantik dengan baju ini, atau dengan warna itu,” anda lalu mengikuti perkataannya. Padahal cantik adalah sebuah ukuran relatif yang senantiasa berfluktuasi sepanjang zaman. Layaknya mata uang, ia bisa mengalami devaluasi, Lalu di mana letak kebebasan itu, ketika seorang wanita membiarkan dirinya terbawa arus fluktuasi itu? Pilihan orang banyak adalah pilihannya? Pendapat orang banyak adalah pendapatnya?

Pada kenyataannya, jilbab adalah sesuatu yang masih asing di kalangan wanita muslimah, karena yang bertebaran saat ini hanyalah sekedar penutup kepala, pembalut tubuh, trend mode dan bukannya jilbab yang seharusnya berfungsi untuk menutup aurat dengan sempurna. Wallahu a'lam.

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan istiqamah di atas ketaatan itu. Amin.