JUAL BELI
Jual Beli Dalam Islam | Pengertian, Hukum, Syarat, Riba
a. Pengertian Jual Beli
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta.
Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan
fasilitas dan kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan
harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat simpulkan bahwa jual beli adalah
suatu akad yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli.
b. Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil
akal. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.”
c. Klasifikasi Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut
pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan
uang.
Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.
2. Berdasarkan
Standardisasi Harga
a) Jual Beli Bargainal
(tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal
barang yang dijualnya.
b) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan
modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi
tiga jenis:
Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan
yang diketahui.
Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan
kerugian yang diketahui.
Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama
dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d. Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat
macam:
Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung
(jual beli kontan).
Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama
tertunda.
e. Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh
yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat
ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual
dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki
kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil
baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang
dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai
berikut:
Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan
merupakan milik penuh salah satu pihak.
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar
tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’
karena hal tersebut dilarang.
Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang
untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
f. Sebab-sebab dilarangnya
jual beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
1. Berkaitan dengan objek
2. Tidak terpenuhniya
syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang
masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada
induknya (madhamin).
3. Tidak terpenuhinya
syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis,
haram dan sebagainya.
4. Tidak terpenuhinya
syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.
g. Berkaitan dengan
komitmen terhadap akad jual beli
1. Jual beli yang
mengandung riba
2. Jual beli yang
mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua
hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang
menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat
terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena
adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan
shalat Jum’at.
h. Jual Beli yang
Bermasalah
1. Jual Beli yang
Diharamkan
a) Menjual tanggungan
dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan
sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menjual harga
yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya,
menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan
nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini
adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
b) Jual beli disertai
syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam.
Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan
konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau
menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad,
seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan
persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini
kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk
dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian
tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
c) Dua perjanjian dalam
satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun
terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang
lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan,
sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau
kredit.
Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda,
lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau
menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih
mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits
shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan
dalam transaksi orang lain.
Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang
mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari).
2. Jual Beli yang
Diperdebatkan
Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang
dibayar dengan lebih banyak (riba).
Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang
dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli
mengembalikan barang.
Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang
muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu
dimasukkan ke dalam harganya.
Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara
bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama
membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual
beli dengan tawar menawar.
FALUTA ASING
FOREX dalam hukum ISLAM
Dalam bukunya Prof. Drs.
Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh
bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan
valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi
antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu
memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masingmasing negara mempunyai ketentuan
sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan
diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar
negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau
PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama
yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya
ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya.
Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang.
Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS
1. Ada Ijab-Qobul: ---> Ada perjanjian untuk
memberi dan menerima
· Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
· Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
· Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan
dan melakukan tindakan tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli
yaitu:
· Suci barangnya (bukan najis)
· Dapat dimanfaatkan
· Dapat diserahterimakan
· Jelas barang dan harganya
· Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas
izin pemiliknya
· Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh
dengan imbalan.
Perlu ditambahkan
pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama.
"Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena
sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan". (Hadis
Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas'ud)
Jual beli barang yang
tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan
sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan
penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli
mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:
Barang
siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika
ia telah melihatnya".
Jual beli hasil tanam
yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan,
asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus
mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai
dengan kaidah hukum Islam:
Kesulitan itu menarik kemudahan.
Demikian juga jual beli
barang-barang yang telah terbungkus/tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan
sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit.
hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi,
Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.
JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM
Yang dimaksud dengan
valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris,
ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan
internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar
negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir
Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir
Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian
akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara
berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan
nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000.
Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah,
tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan
transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W.
J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77)
KHIYAR
Pengertian Khiyar
adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Sebab
Islam menggariskan jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada
unsur paksaan sedikitpun. Penjual berhak mempertahankan harga barang
dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang
diyakininya. Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Penjual dan pembeli tetap
dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan
suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi
keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku
dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya." (HR. Bukhori dan Muslim)
Khiyar ada dua macam:
1. Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi atau tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah." (HR. Bukhori dan Muslim).
2. Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual- beli. Misalnya penjual mengatakan, "Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari." Maksudnya penjual
memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi I tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila I pembeli mengiyakan, maka status barang tersebut sementara I waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si I penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. I Namun jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang I tersebut menjadi hak penjual kembali. Muhammad Rosulullah I saw. bersabda kepada seorang lelaki, "Engkau boleh khiyar ipak I segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam." (HR. I Baihaqi dan Ibnu Majah).
3. Khiyar aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang I yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi I kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan I sesegera mungkin. Aisyah menuturkan, "Bahiva seorang Idaki telah membeli seorang budak. Budak tersebut sudah beberapa Imn tinggal bersama dia, kemudian diketahui ada cacat pada budak itu. Lantas ia mengadukan hal tersebut kepada Rosulullah, maka Rosulullah putuskan untuk mengembalikan kepada penjualnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi).
Khiyar ada dua macam:
1. Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi atau tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah." (HR. Bukhori dan Muslim).
2. Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual- beli. Misalnya penjual mengatakan, "Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari." Maksudnya penjual
memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi I tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila I pembeli mengiyakan, maka status barang tersebut sementara I waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si I penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. I Namun jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang I tersebut menjadi hak penjual kembali. Muhammad Rosulullah I saw. bersabda kepada seorang lelaki, "Engkau boleh khiyar ipak I segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam." (HR. I Baihaqi dan Ibnu Majah).
3. Khiyar aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang I yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi I kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan I sesegera mungkin. Aisyah menuturkan, "Bahiva seorang Idaki telah membeli seorang budak. Budak tersebut sudah beberapa Imn tinggal bersama dia, kemudian diketahui ada cacat pada budak itu. Lantas ia mengadukan hal tersebut kepada Rosulullah, maka Rosulullah putuskan untuk mengembalikan kepada penjualnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi).
IJARAH
A. Pengertian Ijãrãh
Secara
etimologis al-ijãrãh berasal dari kata al-ajru yang arti menurut
bahasanya ialah al-iwãdh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah
ganti dan upah.[1] Menurut Rahmat Syafi’i dalam fiqih
Muamalah ijãrãh adalahبيع المنفعة (menjual manfaat), sedangkan menurut syara’
(terminologi) ada beberapa pengertian:
·
Ulama Hanafiyah :
`ãqdun ‘ãlal manããfi’i bi ‘ãudhin, artinya “akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti”.
(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanã’i
fi Tartib asy-Syãra’i, Juz 4, hal. 174)
·
Ulama Syafi’iyah :
“Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau
kebolehan dengan pengganti tertentu”.
(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,
Juz 2, hal. 332)
·
Ulama Malikiyah (Syarh al-Kabir li
Dardir, Juz 4, hal. 2) dan Hanabilah (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz
5, hal. 398):
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, ijãrãh adalah menukar sesuatu dengan ada
imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah-mengupah.
Sewa menyewa
adalah المنفعة بيع (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah بيع القو ه (menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa
digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat
tinggal”. Sedangkan Upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja
di toko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijãrãh.
DASAR HUKUM
1) Al-Qur’an
Allah Swt berfirman,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا
بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ
رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf
43 : 32)
Allah Swt berfirman :
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Allah Swt berfirman,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ
خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash 28 : 26)
2) As-Sunnah
“Dahulu kami
menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah
saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar
dan dirham”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[4]
Rasulullah saw bersabda,
إحتم واعط الحجام أجره (رواه البخاري ومسلم)
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu
upahnya kepada orang yang
membekamnya”.[5] (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw bersabda,
أعطواالاجيرأجره
قبل أن يجفّ عرقه (رواه ابن ماجه عن ابن
عمر)
Rasulullah saw bersabda,
من استأجرأجيرافليعمل أجره (رواه عبدالرزاق عن أبي هريرة)
“Barangsiapa
yang meminta menjadi buruh (pekerja), beritahukanlah upahnya”.[7] (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
3) Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa
ijãrãh disyariatkan dalam Islam., dan ulama pada masa sahabat telah
berijma` bahwa ijãrãh dibolehkan sebab bermanfa`at bagi manusia.[8]
B. Rukun Dan Syarat
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun ijãrãh adalah ijab dan qabul antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijãrãh, al-isti’jãr, al-ikhtirã’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijãrãh
ada 4 yaitu :
1. ‘Áqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir
(orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan mustã’jir (orang yang
menyewa sesuatu atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul
antara mu’jir dan mustã’jir
3. Ujrah (upah)
SYARAT
Syarat ijãrãh adalah sebagai berikut :
a)
Mu`jir dan Mustã`jir
·
Menurut ulama Hanafiyah, aqid
(orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumãyyiz
(sudah bisa membedakan antara haq dan bathil/minimal 7 tahun), tidak
disyaratkan harus baligh.
·
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz
adalah syarat ijãrãh dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.
Dengan demikian akad mumãyyiz adalah sah tetapi harus ada keridhaan walinya.
(Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 3)
·
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan
aqid harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz
belum dikategorikan ahli akad. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2,
hal. 332).
Syarat yang
lain adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan adanya
keridhaan dari kedua belah pihak (aqid) karena ijãrãh dikategorikan jual
beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. (Alauddin al-Kasani, Badai’
ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syura’i, Juz 4, hal. 179).
Allah Swt berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ
مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa'
4 : 29)
Bagi aqid
juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna
sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
b) Shighat ijab kabul
Shighat ijab kabul antara mu’jir dan
musta’jir. Ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah. Ijab kabul sewa menyewa
misalnya mu’jir berkata, “Aku sewakan motor ini kepadamu 1 dirham per hari”
maka musta’jir menjawab, “Aku terima sewa motor tersebut dengan harga 1 dirham
per hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya mu’jir
berkata, “Kuserahkan kebun ini untuk dicangkuli dengan upah 1 dirham per hari”
kemudian musta’jir menjawab, “Aku akan lakukan pekerjaan itu sesuai dengan apa
yang engkau ucapkan”.
c) Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah :
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh
kedua belah pihak
b. Tidak boleh sejenis dengan barang
manfaat dari ijãrãh, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut
“Dahulu kami
menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah
saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar
dan dirham”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sebaiknya
upah diberikan per hari sesuai dengan hadits Rasulullah saw bersabda :
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR.
Ibnu Majah).
d) Ma’qud ‘alaih (barang/manfaat)
Syarat barang dalam sewa menyewa :
Ø
Barang harus dimiliki oleh aqid atau ia
memiliki kekuasaan penuh untuk akad
Dengan
demikian ijãrãh al-fudhul (ijãrãh yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan
adanya ijãrãh.
Ø
Adanya penjelasan manfaat
Penjelasan
dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah dengan berkata, “Saya
sewakan salah satu dari rumah ini” karena tidak jelas.
Ø
Adanya penjelasan waktu
Jumhur ulama
tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya
dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan
untuk membatasinya. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2,
hal. 349)
Ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama
Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tak dibatasi hal itu dapat menyebabkan
ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi. (Abu Ishaq asy-Syirazi,
al-Muhadzdzab, Juz 1, hal. 396)
Ø
Sewa bulanan
Menurut
ulama Syafi’iyah, seseorang tidak boleh berkata, “Saya menyewakan rumah ini
setiap bulan 1 dinar” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap
kali membayar. Akad yang benar adalah dengan berkata, “Saya sewa selama
sebulan”.
Sedangkan
menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama,
sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang
paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa.
(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4,
hal. 182)
Ø
Barang sewaan harus dapat memenuhi secara
syara’
Tidak boleh
seperti menyewa pelacur untuk sekian waktu.
e) Kemanfaatan dibolehkan secara syara’
Pemanfaatan
barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan secara syara’,
seperti menyewakan rumah untuk tempat tinggal, menyewa motor untuk bekerja dan
lain-lain.
Para ulama
sepakat melarang ijãrãh, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau
berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “menyewa untuk suatu kemaksiatan
tidak boleh”. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,
juz 2, hal. 218)
Ø
Manfaat barang sesuai dengan keadaan yang
umum
Tidak boleh
menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai
dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijãrãh.
Ø
Barang sewaan terhindar dari cacat
Jika
terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan
dengan membayar penuh atau membatalkannya. (Alauddin al-Kasani, Badai’
ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 195)
f) Syarat manfaat dalam upah mengupah :
·
Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan
tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang
untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
·
Penjelasan waktu kerja
Tentang
batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam
akad.
·
Tidak menyewa untuk pekerjaan yang
diwajibkan kepadanya
Contohnya
adalah menyewa orang untuk shalat, shaum dan lain-lain. Juga dilarang menyewa
istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban istri.
·
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang
yang disewa
Tidak
menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut
adalah untuk dirinya.
·
Juga tidak mengambil manfaat dari sisa
hasil pekerjaannya
seperti
menggiling gandum dan mengambil bubuk atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu
didasarkan hadits yang diriwayatkan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw melarang
untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakatinya.
(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4,
hal. 192) Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas
sebab hadits di atas dipandang tidak shahih. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5,
hal. 449)[10]
g) Pembagian Jenis
Ijãrãh terbagi 2 yaitu :
·
Ijãrãh terhadap benda atau sewa menyewa
·
Ijãrãh atas pekerjaan atau upah mengupah
C. Hukum Ijãrãh
a. Hukum sewa menyewa
Dibolehkan ijãrãh
atas barang mubah seperti rumah, kamar dan lain-lain tetapi dilarang ijãrãh
terhadap benda-benda yang diharamkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam akad ijãrãh (sewa menyewa) :
a. Barang sewa diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah,
ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
b. Cara memanfaatkan barang sewaan
v
Sewa rumah
Jika
seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya,
baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain bahkan boleh disewakan lagi
atau dipinjamkan pada orang lain.
v
Sewa tanah
Sewa tanah
diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa
yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijãrãh dipandang rusak.
v
Sewa kendaraan
Dalam menyewa
kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu
diantara 2 hal yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan
dibawa atau benda yang akan diangkut.
c. Perbaikan barang sewaan
Menurut
ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau
dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya
tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk memperbaiki barangnya sendiri.
Apabila
penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap
sukarela. Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah
merupakan kewajiban penyewa.
d. Kewajiban penyewa setelah masa sewa
habis
Di antara
kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah : (Alauddin al-Kasani, Badai’
ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 209)
·
Menyerahkan kunci, jika yang disewa rumah
·
Jika yang disewa kendaraan, ia harus
menyimpannya kembali di tempat asalnya.
b. Hukum upah mengupah
Upah
mengupah atau ijãrãh ‘ala al-a’mal yakni jual beli jasa. Contohnya
seperti jasa menjahit pakaian, membangun rumah dan lain-lain.
Ijãrãh ‘ala al-a’mal terbagi menjadi 2 yaitu :
·
Ijãrãh khusus
Yaitu ijãrãh
yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh
bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah
·
Ijãrãh Musytarik
Yaitu ijãrãh
yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan
bekerja sama dengan orang lain.[11]
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah,
kewajiban upah didasarkan pada 3 perkara :
·
Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam
zat akad
·
Mempercepat tanpa adanya syarat
·
Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi
sedikit
c. Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam
perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Qur’an
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang
terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazdhab
Hanafi berpendapat bahwa ijãrãh dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain
untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan
kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya,
azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan
tersebut.
Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah olehmu
Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu
mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu
suatu upah”.
Perbuatan seperti
adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan zikir tergolong
perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah
untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang
sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seorang muslim wafat,
maka keluarganya menyuruh para santri atau muslim lainnya untuk membaca
Al-Qur’an di rumahnya selama 3 malam atau malam ke-7 atau malam ke-40. Setelah
selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah,
Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk
memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan
kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala
pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada
orang lain.
Allah Swt berfirman,
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Q.S.
Al-Baqarah 2 : 286)
Beberapa pendapat ulama madzhab tentang
upah dalam ibadah :
I.
Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang
pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan
pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki
berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an,
azan dan badal Haji.
II.
Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm
membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu
karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang
diketahui pula.
III.
Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan
upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji
dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil
upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut
jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih.
Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca
Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
IV.
Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan
upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun
masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah
boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.[12]
d. Pembayaran Upah Dan Sewa
Jika Ijãrãh
itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya
pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak
disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut
Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat
yang diterimanya.
Menurut Imam
Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir
menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak
menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya.
Hak menerima upah musta’jir adalah sebagai
berikut :
1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah
sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)
2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar
ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat
barang yang diijãrãhkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
e. Tanggung Jawab Orang Yang Digaji/Upah
Pada
dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus
mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan
atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur
kelalaian/kesengajaan atau tidak.
Jika tidak
maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau
kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara
mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.
Sekiranya menjual jasa itu untuk
kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama
berbeda pendapat.
Imam Abu
Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur
kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa
pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja
ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya
seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut
madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti
binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak,
segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.
f. Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan
kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan
yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad
dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau
tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun
harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih
besar, lebih kecil atau sama.
Bila ada
kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik
barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian
musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian
musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu
hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.[13]
g. Pembatalan Dan Berakhirnya Ijãrãh
Ijãrãh menjadi fasakh (batal) bila terjadi
hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan musta’jir
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih) seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
dan selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijãrãh dari salah satu pihak, seperti
musta’jir menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri maka
ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[14]
h. Pengembalian Sewaan
Jika ijãrãh
telah berakhir, musta’jir berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang
itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dan jika
bentuk barang sewaan adalah ‘iqar (tetap), ia wajib menyerahkan kembali dalam
keadaan kosong.
Jika sewaan
itu tanah maka ia wajib menyerahkan kepada mu’jir (pemiliknya) dalam keadaan
kosong dari tanaman kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.[15]
PINJAMAN (ARIYAH)
A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
balighØ
berakalØ
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.Ø
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Ø Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
Ø Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
balighØ
berakalØ
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.Ø
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Ø Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
Ø Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar