Sabtu, 09 Juni 2012

bai'un


JUAL BELI
Jual Beli Dalam Islam | Pengertian, Hukum, Syarat, Riba

a.    Pengertian Jual Beli
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat simpulkan bahwa jual beli adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli.

b.    Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

c.    Klasifikasi Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

1.    Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.
2.    Berdasarkan Standardisasi Harga
a)  Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.
Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d.    Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:
Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli kontan).
Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

e.    Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.

Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
f.    Sebab-sebab dilarangnya jual beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
1.    Berkaitan dengan objek
2.    Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
3.    Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
4.    Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.
g.    Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1.    Jual beli yang mengandung riba
2.    Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.
h.    Jual Beli yang Bermasalah
1.    Jual Beli yang Diharamkan
a)    Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
b)    Jual beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.

Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
c)    Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.
Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain.
Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari).
2.    Jual Beli yang Diperdebatkan
Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba).
Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang.
Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya.
Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.


FALUTA ASING
FOREX dalam hukum ISLAM


Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masingmasing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS
1. Ada Ijab-Qobul: ---> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima
· Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
· Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
· Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
· Suci barangnya (bukan najis)
· Dapat dimanfaatkan
· Dapat diserahterimakan
· Jelas barang dan harganya
· Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
· Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.

Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama.

"Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan". (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas'ud)

Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:

Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya".

Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:

Kesulitan itu menarik kemudahan.

Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus/tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.


JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77)

KHIYAR
Pengertian Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Sebab Islam menggariskan jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikitpun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya." (HR. Bukhori dan Muslim)

Khiyar ada dua macam:

1.    Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi atau tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah." (HR. Bukhori dan Muslim).

2.    Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual- beli. Misalnya penjual mengatakan, "Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari." Maksudnya penjual

memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi I tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila I pembeli mengiyakan, maka status barang tersebut sementara I waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si I penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. I Namun jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang I tersebut menjadi hak penjual kembali. Muhammad Rosulullah I saw. bersabda kepada seorang lelaki, "Engkau boleh khiyar ipak I segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam." (HR. I Baihaqi dan Ibnu Majah).

3. Khiyar aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang I yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi I kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan I sesegera mungkin. Aisyah menuturkan, "Bahiva seorang Idaki telah membeli seorang budak. Budak tersebut sudah beberapa Imn tinggal bersama dia, kemudian diketahui ada cacat pada budak itu. Lantas ia mengadukan hal tersebut kepada Rosulullah, maka Rosulullah putuskan untuk mengembalikan kepada penjualnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi).
IJARAH
A.    Pengertian Ijãrãh
Secara etimologis al-ijãrãh berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwãdh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah.[1] Menurut Rahmat Syafi’i dalam fiqih Muamalah ijãrãh adalahبيع  المنفعة  (menjual manfaat), sedangkan menurut syara’ (terminologi) ada beberapa pengertian:
·         Ulama Hanafiyah :
`ãqdun ‘ãlal manããfi’i bi ‘ãudhin, artinya “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.
(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanã’i fi Tartib asy-Syãra’i, Juz 4, hal. 174)
·         Ulama Syafi’iyah :
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.
(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)
·         Ulama Malikiyah (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 2) dan Hanabilah (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 398):
 “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.[2]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, ijãrãh adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah-mengupah.
Sewa menyewa adalah المنفعة بيع  (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah بيع القو ه  (menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal”. Sedangkan Upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja di toko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijãrãh.



DASAR HUKUM
1)      Al-Qur’an
Allah Swt berfirman,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf 43 : 32)

Allah Swt berfirman :
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka”.[3] (Q.S. Ath-Thalaq 65:6)
Allah Swt berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash 28 : 26)

2)      As-Sunnah
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[4]
Rasulullah saw bersabda,
إحتم واعط الحجام أجره  (رواه البخاري ومسلم)
 “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”.[5] (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw bersabda,
 أعطواالاجيرأجره قبل أن يجفّ عرقه    (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”.[6] (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah saw bersabda,
من استأجرأجيرافليعمل أجره  (رواه عبدالرزاق عن أبي هريرة)
 “Barangsiapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), beritahukanlah upahnya”.[7] (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

3)      Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijãrãh disyariatkan dalam Islam., dan ulama pada masa sahabat telah berijma` bahwa ijãrãh dibolehkan sebab bermanfa`at bagi manusia.[8]

B.     Rukun Dan Syarat
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijãrãh adalah ijab dan qabul antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijãrãh, al-isti’jãr, al-ikhtirã’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijãrãh ada 4 yaitu :
1. ‘Áqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan mustã’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan mustã’jir
3. Ujrah (upah)
4. Mã’qud ‘ãlaih (Manfaat/barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan).[9]


SYARAT
Syarat ijãrãh adalah sebagai berikut :
a)      Mu`jir dan Mustã`jir
·         Menurut ulama Hanafiyah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumãyyiz (sudah bisa membedakan antara haq dan bathil/minimal 7 tahun), tidak disyaratkan harus baligh.
·         Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijãrãh dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian akad mumãyyiz adalah sah tetapi harus ada keridhaan walinya. (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 3)
·         Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan aqid harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332).

Syarat yang lain adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan adanya keridhaan dari kedua belah pihak (aqid) karena ijãrãh dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syura’i, Juz 4, hal. 179).
Allah Swt berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Bagi aqid juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

b)      Shighat ijab kabul
Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir. Ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah. Ijab kabul sewa menyewa misalnya mu’jir berkata, “Aku sewakan motor ini kepadamu 1 dirham per hari” maka musta’jir menjawab, “Aku terima sewa motor tersebut dengan harga 1 dirham per hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya mu’jir berkata, “Kuserahkan kebun ini untuk dicangkuli dengan upah 1 dirham per hari” kemudian musta’jir menjawab, “Aku akan lakukan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.

c)      Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah :
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijãrãh, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sebaiknya upah diberikan per hari sesuai dengan hadits Rasulullah saw bersabda : “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu   Majah).

d)     Ma’qud ‘alaih (barang/manfaat)
Syarat barang dalam sewa menyewa :
Ø  Barang harus dimiliki oleh aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad
Dengan demikian ijãrãh al-fudhul (ijãrãh yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijãrãh.
Ø  Adanya penjelasan manfaat
Penjelasan dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah dengan berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini” karena tidak jelas.
Ø  Adanya penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 349)
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi. (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Juz 1, hal. 396)
Ø  Sewa bulanan
Menurut ulama Syafi’iyah, seseorang tidak boleh berkata, “Saya menyewakan rumah ini setiap bulan 1 dinar” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang benar adalah dengan berkata, “Saya sewa selama sebulan”.
Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 182)
Ø  Barang sewaan harus dapat memenuhi secara syara’
Tidak boleh seperti menyewa pelacur untuk sekian waktu.
e)      Kemanfaatan dibolehkan secara syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan secara syara’, seperti menyewakan rumah untuk tempat tinggal, menyewa motor untuk bekerja dan lain-lain.
Para ulama sepakat melarang ijãrãh, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh”. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2, hal. 218)
Ø  Manfaat barang sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijãrãh.
Ø  Barang sewaan terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 195)

f)       Syarat manfaat dalam upah mengupah :
·         Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
·         Penjelasan waktu kerja
Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
·         Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Contohnya adalah menyewa orang untuk shalat, shaum dan lain-lain. Juga dilarang menyewa istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban istri.
·         Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.
·         Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya
seperti menggiling gandum dan mengambil bubuk atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan hadits yang diriwayatkan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakatinya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 192) Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadits di atas dipandang tidak shahih. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 449)[10]

g)      Pembagian Jenis
Ijãrãh terbagi 2 yaitu :
·         Ijãrãh terhadap benda atau sewa menyewa
·         Ijãrãh atas pekerjaan atau upah mengupah
C.    Hukum Ijãrãh
a.       Hukum sewa menyewa
Dibolehkan ijãrãh atas barang mubah seperti rumah, kamar dan lain-lain tetapi dilarang ijãrãh terhadap benda-benda yang diharamkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam akad ijãrãh (sewa menyewa) :
a. Barang sewa diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
b. Cara memanfaatkan barang sewaan
v  Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
v  Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijãrãh dipandang rusak.
v  Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara 2 hal yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c. Perbaikan barang sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk memperbaiki barangnya sendiri.
Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d. Kewajiban penyewa setelah masa sewa habis
Di antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah : (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 209)
·         Menyerahkan kunci, jika yang disewa rumah
·         Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya.

b.      Hukum upah mengupah
Upah mengupah atau ijãrãh ‘ala al-a’mal yakni jual beli jasa. Contohnya seperti jasa menjahit pakaian, membangun rumah dan lain-lain.
Ijãrãh ‘ala al-a’mal terbagi menjadi 2 yaitu :
·         Ijãrãh khusus
Yaitu ijãrãh yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah
·         Ijãrãh Musytarik
Yaitu ijãrãh yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.[11]

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada 3 perkara :
·         Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad
·         Mempercepat tanpa adanya syarat
·         Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit

c.       Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa ijãrãh dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya, azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.
Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seorang muslim wafat, maka keluarganya menyuruh para santri atau muslim lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya selama 3 malam atau malam ke-7 atau malam ke-40. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah, Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.
Allah Swt berfirman,
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 286)

Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :

       I.            Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
    II.            Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
 III.            Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
 IV.            Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.[12]

d.      Pembayaran Upah Dan Sewa
Jika Ijãrãh itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya.
Hak menerima upah musta’jir adalah sebagai berikut :
1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)
2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijãrãhkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

e.       Tanggung Jawab Orang Yang Digaji/Upah

Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan atau tidak.
Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.
Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.

f.       Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.[13]

g.      Pembatalan Dan Berakhirnya Ijãrãh
Ijãrãh menjadi fasakh (batal) bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan musta’jir
2.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh.
3.      Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih) seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan
4.      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5.      Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijãrãh dari salah satu pihak, seperti musta’jir menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[14]

h.      Pengembalian Sewaan
Jika ijãrãh telah berakhir, musta’jir berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dan jika bentuk barang sewaan adalah ‘iqar (tetap), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong.
Jika sewaan itu tanah maka ia wajib menyerahkan kepada mu’jir (pemiliknya) dalam keadaan kosong dari tanaman kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.[15]

PINJAMAN (ARIYAH)

A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.

B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
 baligh
Ø
 berakal
Ø
 orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
Ø

3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Ø Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
Ø Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.

D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.



[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. RajaGrafindo Persada. Jakarta 2010,.hlm 114
[2] Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah. Pustaka setia. Bandung  2001,.hlm 121-122
[3] Ibid,.hlm 123
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. RajaGrafindo Persada. Jakarta 2010,.hlm 116
[5]Ibid,.116
[6] Ibid,.hlm 124
[7] Ibid,.hlm 124
[8] Ibid,.hlm 124
[9] Ibid,.hlm 125
[10] Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah. Pustaka setia. Bandung  2001,.hlm 125-130
[11] Ibid,.hlm 131-134
[12] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. RajaGrafindo Persada. Jakarta 2010,.hlm 119-121
[13] Ibid,.hlm 121-122
[14] Ibid,.hlm 122
[15] Ibid,.hlm 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar