Jumat, 21 September 2012

sholat 4 mazhab

Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah shalat, meskipun hukumnya sama-sama wajib.
Dari dulu aku sering bingung (dan dilanjutkan bengong) atas perbedaan-perbedaan shalat umat Islam. Tapi kebingunganku sekarang jadi sedikit tercerahkan. Makashii banget buat pak nurul yakin atas tugasnya untuk membandingan pendapat 4 mazhab tentang shalat wajib.
Ini ringkasan tugas yang aku kerjain bareng temen-temen sekelompok :

Isi :
Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
  1. Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat  dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
  1. Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain  perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
  1. Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan  lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
  1. Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
  1. Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
Allah mendengar orang yang memuji-Nya
  1. Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
  1. Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Allahumma sholli ’alaa muhammad
Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad
  1. Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
  1. Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
10.  Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)
Daftar Pustaka

As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
<http://ajaranalqurandansunnah.blogspot.com>

ZAKAT HARTA KARUN DAN BARANG TAMBANG

A. PENGERTIAN AR-RIKAZ DAN AL-MA’DIN

Di dalam ilmu Fiqih Islam, Harta Karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah Ar-Rikaz, sedangkan barang tambang dikenal dengan istilah Al-Ma’din.
Para ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan (harta karun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang (al-ma’din), barang temuan (ar-rikaz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap barang tambang dan temuan. 
Menurut Hanafiyyah (para pengikut madzhab imam Abu Hanifah), bahwa Ar-Rikaz dan Al-Ma’din adalah harta yang sama atau satu makna. Sedangkan menurut mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, pent) bahwa kedua hal tersebut maknanya berbeda.()
Ar-Rikaz secara bahasa artinya adalah sesuatu yang terpendam di dalam perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam.
Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah harta terpendam zaman jahiliyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras, baik berupa emas, perak, maupun selainnya.
Adapun al-Ma’din, secara bahasa berasal dari kata al-‘adn yang berarti al-Iqomah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’din-nya.
Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta di dalam bumi dari sesuatu yang lain yang memiliki nilai.
Barang tambang ada yang berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, dan timah. Dan ada pula yang berbentuk cairan, seperti minyak, ter dan sejenisnya.
Harta terpendam dan barang tambang adalah sama menurut madzhab Hanafi. Sementara menurut mayoritas ulama membedakan antara keduanya, dan berdalil dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“…menggali barang tambang mengandung resiko(), dan pada harta terpendam seperlima.”()
Di dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam membedakan antara harta terpendam dan barang tambang.
B. LANDASAN DISYARIATKANNYA ZAKAT HARTA KARUN (TERPENDAM)
Para ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ
“Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Dan pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.”()
C. JIKA SESEORANG MENEMUKAN HARTA KARUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima keadaan berikut:
Pertama: Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui siapa pemiliknya. Maka harta itu menjadi miliknya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan empat perlimanya menjadi miliknya. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عن عَمْرو بنِ شُعَيْبٍ عن أبيه عن جَدِّه : – أن النبيَّ صلى اللَّه عليه وسلم قال في كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة : ” إنْ وَجَدَتَهُ في قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ أو في سَبِيلِ ميتاء فَعَرِّفْهُ , و إنْ وَجَدَتَهُ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة أوفي قَرْيَةٍ غير مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وفِي الرِّكازِ الخُمْسُ “
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata –tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing Jahiliyah-: “Jika ia menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan yang dilalui orang, maka ia harus mengumumkannya. Jika ia menemukannya di puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka itu menjadi miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”()
Kedua: Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits Nabi r yang telah lalu.
Ketiga: Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama: ()
1) Harta itu untuk pemilik tanah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin Al-Hasan, qiyas dari pendapat imam Malik, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.
2) Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari imam Ahmad, dan dianggap bagus oleh Abu yusuf.
Mereka mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan tanah. Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
3) Dengan perincian: jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. Ini adalah madzhab imam Asy-Syafi’i.
Keempat: Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan, dengan cara membeli atau selainnya.() Dalam hal ini ada dua pendapat:
1) Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab imam Malik, imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, yaitu jika pemilik pertama tidak mengakuinya.
2) Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak, maka milik pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu menjadi luqothoh (barang tercecer).  Ini adalah pendapat imam Asy-syafi’i.
Kelima: Ia menemukannya di dar al-harb (negeri yang diperangi). Jika digali bersama-sama oleh kaum muslimin, maka itu adalah ghonimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti ghonimah.
Jika ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua pendapat ulama: ()
1) Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan dengan harta yang ditemukannya di tanah yang tidak berpenghuni.
2) Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha mempertahankannya, maka itu adalah ghonimah. Jika pemiliknya tidak mengetahuinya dan tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam. Ini adalah madzhab imam Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan perincian yang mereka buat.
D. APAKAH DISYARATKAN NISHOB DAN HAUL PADA HARTA TERPENDAM?
Tidak disyaratkan nishob dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.”()
Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
E. SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DARI SEPERLIMA HARTA TERPENDAM TERSEBUT?
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta terpendam menjadi dua pendapat:()
Pendapat pertama: Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran zakat. Ini adalah pendapat imam Asy-syafi’i dan imam Ahmad. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan, jika ia menyedekahkannya kepada orang miskin, maka itu sudah cukup baginya.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu:
Apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr Al-Khots’ami t, dari seseorang dari kaumnya yang biasa dipanggil Hajmah. Ia berkata: “Jatuh menimpaku sekantung uang kuno di Kufah di dekat pekuburan Bisyr. Di dalamnya berisi empat ribu Dirham. Aku membawanya kepada Ali bin Abu Tholib t, maka dia berkata: “Bagikanlah lima bagian!” aku membagikannya. Ali mengambil seperlima darinya dan memberikan kepadaku empat perlimanya. Saat aku ingin pergi, dia memanggilku seraya berkata, “Apakah ada tetanggamu yang fakir dan miskin?” aku jawab: “Ya.” Dia berkata: “Ambillah ini, dan bagikan kepada mereka.”()
Karena diperoleh dari bumi, maka disamakan dengan tanaman.
Pendapat Kedua: tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah pendapat imam Abu Hanifah, imam Malik, dan sebuah riwayat dari imam Ahmad yang dishohihkan oleh Ibnu Qudamah.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu:
Apa yang diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, bahwa ada seorang lelaki menemukan seribu Dinar yang terkubur di luar Madinah. Ia membawanya ke hadapan Umar bin Al-Khoththob t, lalu Umar mengambil darinya seperlimanya, yaitu dua ratus Dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tersebut. Mulailah Umar membagikan dua ratus Dinar tersebut kepada kaum muslimin yang hadir hingga tersisa beberapa dinar, maka dia berkata: “Dimanakah pemilik Dinar tadi?” ia bangkit menuju kepadanya, maka Umar berkata: “Ambillah Dinar ini, karena ini milikmu.”()
Mereka mengatakan, jikalau itu Zakat, pastilah dikhususkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dan tidak dikembalikan lagi kepada orang yang menemukannya.
Karena ini wajib atas kafir dzimmi, sementara zakat tidak wajib atasnya. Dan karena harta itu termasuk harta makhmus (yang harus dikeluarkan seperlimanya) yang telah terlepas kepemilikannya dari tangan orang kafir (dengan anggapan harta itu termasuk harta terpendam milik kaum jahiliyah), maka disamakan seperti pembagian seperlima harta ghonimah.
Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: “Dua dalil di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: () “Tidak ada dalam As-Sunnah yang menguatkan penjelasan salah satu dari kedua belah pihak atas pihak yang lainnya. Oleh karena itu, aku memilih dalam ahkam (hukum-hukum) harta terpendam, tempat penyalurannya dikembalikan kepada keputusan (kebijakan) pemimpin kaum muslimin. Ia menyalurkannya ke mana saja terdapat kemaslahatan Negara. Inilah pendapat yang dipilih Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwaal.”()
F. APAKAH BARANG TAMBANG TERMASUK DALAM HUKUM HARTA TERPENDAM YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA?
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih menjadi dua pendapat:
Pendapat Pertama: Imam Malik –dalam salah satu dari dua riwayatnya-, dan imam Asy-syafi’i dalam pendapatnya yang kedua berpendapat tidak ada kewajiban apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).
Pendapat Kedua: Mayoritas ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah dan minyak bumi, seperti Rikaz (barang terpendam) yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih tentang kadar zakatnya.()
TARJIH:
Pendapat yang rojih (kuat dan benar) adalah pendapat kedua. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ
“Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Tidak diragukan lagi, minyak bumi yang dikenal dengan sebutan “emas hitam” termasuk barang tambang yang paling berharga. Oleh karena itu, tidak sah mengeluarkannya dari hukum zakat ini.  Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.
G. KADAR ZAKAT YANG WAJIB DIKELUARKAN PADA BARANG TAMBANG
Dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih menjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Abu Ubaid, dan selainnya berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %) dari barang tambang seperti harta terpendam (harta karun).
Pendapat kedua: Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh atau dua setengah persen (2,5 %), diqiyaskan dengan emas dan perak.
Sebab perselisihan ini adalah perbedaan pendapat tentang makna ar-rikaz (harta terpendam/harta karun); apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya ataukah tidak?
Pendapat ketiga: Sebagian ulama fiqih membedakannya; jika hasil yang didapat banyak, jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya (20 %). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (2,5 %).()

Zakat Fitrah Fathul Qarib

Zakat Fitrah dari kitab Fathul Qarib karya Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi Asy-Syafi'i

Zakat fitri itu hukumnya wajib. Disebut juga dengan zakat fitrah maknanya kejadian. Syarat zakat fitrah ada 3 (tiga) yaitu, pertama, Islam, orang kafir asli tidak wajib zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang Islam.


Kedua, terbenamnya matahari pada akhir hari dari bulan Ramadhan. Karena itu zakat fitrah wajib dikeluarkan bagi orang yang meninggal dunia setelah terbenam matahari tidak bagi anak yang baru lahir setelah terbenamnya matahari.


Ketiga, adanya kelebihan (makanan). Yaitu adanya kemudahan bagi seseorang dengan kelebihan bahan makanan pokok untuk dirinya dan keluarganya pada hari itu yakni malang dan siangnya hari raya Idul Fitri.


Seseorang hendaknya membayar zakat fitrah untuk dirinya dan orang Islam lain yang wajib dinafkahi. Oleh karena itu, seseorang tidak wajib membayar zakat fitrah untuk budak, kerabat dan istri yang kafir walaupun wajib menafkahi mereka.


Apabila zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan I sha' dari makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok yang lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok daerah terdekat.


Apabila seseorang tidak mampu membayar zakat dengan 1 sha', tapi hanya memiliki sebagiannya saja, maka dia boleh menunaikan zakat dengan yang ada.


Adapun ukuran 1 sha' adalah 5 1/3 (lima dan sepertiga) kati Irak. Penjelasan detal tentang kati Iraq lihat di bab nishab-nya zakat tanaman.


CATATAN: Dalam ukuran modern,
1 sha'/5 1/3 kati Iraq sama dengan 2,5 kilogram atau 3,5 liter

فصل): وتجب زكاة الفطر ويقال لها زكاة الفطرة أي الخلقة (بثلاثة أشياء الإسلام) فلا فطرة على كافر أصلي إلا في رقيقه وقريبه المسلمين (وبغروب الشمس من آخر يوم من شهر رمضان) وحينئذ فتخرج زكاة الفطر عمن مات بعد الغروب دون من ولد بعده (ووجود الفضل) وهو يسار الشخص بما يفضل (عن قوته وقوت عياله في ذلك اليوم) أي يوم عيد الفطر وكذا ليلته أيضاً.

ويزكي الشخص (عن نفسه وعمن تلزمه نفقته من المسلمين) فلا يلزم المسلم فطرة عبد وقريب وزوجة كفار، وإن وجبت نفقتهم

وإذا وجبت الفطرة على الشخص فيخرج (صاعاً من قوت بلده) إن كان بلدياً فإن كان في البلد أقوات غلب بعضها، وجب الإخراج منه، ولو كان الشخص في بادية لا قوت فيها أخرج من قوت أقرب البلاد إليه، ومن لم يوسر بصاع بل ببعضه لزمه ذلك البعض

(وقدره) أي الصاع (خمسة أرطال وثلث بالعراقي) وسبق بيان رطل العراقي في نصاب الزروع.

sejarah hukum islam di indonesia

Sejarah maasuknya Islam di Indonesia masih terjadi perselisihan pendapat tentang pada tahun dan abab ke berapa Islam masuk ke bumi Indonesia. Cendikawan  Islam belum puas  dengan penulisan sejarah Islam di Indonesia, hal ini (terjadi) pada seminar penulisan sejarah yang di adakan  oleh IAIN Sunan Kaliga Yogyakarta tanggal 8-9 Juni tahun 1993. Pada seminar ini para Cendikiawan tidak puasbterhadap Metodologi penulisan yang kebanyakan dari orang-orang non Muslim dimana pemahaman terhadap Islam di ragukan.[1]
Kendati demikian para pakar sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke VII Masehi, Hamka menegaskan bahwa masuknya Islam ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke tanah-tanah melayu pada abab ke satu Hijriyah, Islam masuk dengan jalan damai  dan beransur-ansur di terima dengan sukarela oleh penduduk Indonesia walaupun pada saat itu suda ada Agama Hindu dan Budha[2]
Sejarah Islam di Indonesia Hukum Islam perna mengakar sebelum masuknya kolonialisasi di Indonesia. Masa ini terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Islam  di  Indonesia yang memberlakukan hokum Islam dan corak pemerintahan Islam.[3] Proses Islamisasi  Hukum Islam terjadi pada awalnya di lakukan oleh saudagar-saudagar Arab dan masyarakat Indonesia dengan cara kontak dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan perkawinan dengan orang Indonesia  dilakukan berdasarkan kaedah-kaedah nilai-nilai Islam yang disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga islam inilah kemudian menjadi masyarakat islam di Indonesia.
Setelah hukum islam mengakar kemudian tugas saudagar di gantikan oleh Ulama untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah kemudian raja-raja belajar islam dan memberlakukan hukum islam  walaupun tidak secara penuh. Sebagai contoh Sultan Pasai pada tahun 1345 M di pegang oleh Sultan Malik Al-Zahir adalah seorang Fukaha yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Indonesia. [4]
Hukum Islam berlaku setapak demi setapak  tampa paksaan dan tampa menimbulkan  bentrokan dengan budaya dan adapt asli Indonesia yang telah lama hidup, dan dengan cara penaklukan atau “Par Conques” akan tetapi Hukum Islam  dapat diterima oleh masyarakat Indonesia  dengan bijaksana , penetrasi damai dan menghargai budaya asli Indonesia. [5]
Trasformasi social yang bercorak Islam ini kemudian di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia. Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hokum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.[6]
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini.[7] Sistem hokum islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia.[8] Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.[9]
Kehadiran Belanda di Indonesia  sejak awal suda di tentang dengan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahkan dari kerajaan Banten (Jawa Barat) mendapat protes sangat keras, sikap seperti ini di ikuti oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Akan tetapi dengan politik liciknya Belanda dengan dalih sebagai pedagang berhasil menguasai  bumi Indonesia, sejak itulah Indonesia menjadi tanah jajahan (daerah koloni) pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1742 Belanda yang dikenal dengan VOC  dalam Statuta Jakarta memperkenalkan sestem peradilan di Indonesia. Badan peradilan di bentuk maksudnya di samping  berlaku untuk orang-orang Belanda juga di upayakan diberlakukan untuk orang-orang pribumi Indonbesia. Akan tetapi usaha Belanda (VOC) tidak berasil  karena menddapat reaksi keras dari masyarakat islam di Indonesia, sehingga kemudian belanda membiarkan  lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat pribumi berjalan seperti biasa, di antaranya hukum perkawinan Islam, dan Waris Islam.
Untuk melegakan umat Islam di Indonesia VOC pada tahun 1760 M menerbitkan Compendium frijer yang isinya menghimpun hukum perkawinan islam dan hukum kewarisan islam  yang diberlakukan di pengadilan-pengadilan  guna menyelesaikan sengketa umat Islam di Indonesia. Diterbitkan pula kitab “Muharrar”  untuk pengadilan di Semarang yang memuat hukum-hukum jawa  yang dijiwai hokum Islam. Di Cirebon diterbitkan Kitab Papekam  yang berisikan hukum-hukum jawa kuno dan untuk luar jawa  untuk daerah Goa dan Bone. Demikian hukum Islam diberlakukan penuh  hingga (dari) tahun 1602-1800M.[10]
Setelah VOC mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia kemudian diteruskan sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, pada masa ini kekuasaan kolonialnya  di perluas sampai seluruh nusantara. Sejak inilah hukum islam mengalami pergeseran dan pengikisan, tahun 1848 pemerintah Belanda membentuk panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten Van Oudh Aarlem. Tujuan dibentuknya panitia kodifikasi hokum ini adalah mencari persesuaian hukum dinegeri Belanda dengan hukum yang hidup di Indonesia. [11]
Disamping itu akibat politik hukum Belanda azaz dualisme hukum yang berlaku di Indonesia satu sisi hukum perdata berat diberlakukan untuk golongan Eropa yang kemudian diberlakukan pula bagi golongan pribumi dan golongan timur Asing dengan azaz sukarela. Politik hukum Belanda pada dasarnya mengkebiri hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia dengan tunduknya kepada hukum perdata berat yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia akan mempermudah pemerintah Belanda menguasai bumi Indonesia dengan kedudukan sangat kuat sebagai penguasa dan rakyat Indonesia sebagai pribumi selamanya.
Pengaruh politik hokum Hindia Belanda terhadap peradilan agama di Indonesia cukup besar baik pada masa Indonesia sebelum merdeka dan setelah Indonesia merdeka dimana hukum Islam dalam perjalanannya selalu dibayangi teori Receptio in Complaexu, terbukti dengan lahirnya beberapa undang-undang yang masih menyudutkan hukum  Islam sebagai peradilan kelas dua, hal ini terlihat dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan hingga tahun 1989 masih dibutuhkan pengukuhan dari pengadilan negeri (Executoir Verklaring).


[1] Majalah Prisma,  (sejarah Politik Islam) Edisi no. 5 th XVII, 1993 (LP3ES) h. 59
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam .(N.V. Nusantara, Bukit Tinggi, 1961) h 20
[3] Roeslan Abdul Gani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta, Antar Kota, 1983) h. 20
[4] Hamka Op Cit h. 53
[5] Rorslan Abdul Gani Op Cit h.27
[6] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, (yayasan Risalah, Jakarta, 198

prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat

1.Pendahuluan
Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga, sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.
Menuasia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan derajat yang namanya makhluk menuasia disbanding dengan jenis makhluk lainnya.
2. Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan sendirinya.
Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.
Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat atau belum
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.
Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.
3. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.
4. Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
a Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
b Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram suami istri.
c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.
d. Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam.
5. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
6. Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.