A. Pengertian Sunnah
Kata Sunnah adalah salah satu kosa
kata bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa, kata السنة (al-sunnah) berarti السيرة حسنة كانت أو قبيحة (perjalanan hidup yang baik atau yang buruk). Pengertian di
atas didasarkan kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim
sebagai berikut:
من سن في
الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء.
و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم
شيء. (Ibn
Manzhûr, …:…/716).
Artinya:
Barangsiapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Para ahli Hadîts (muhadditsûn), ahli
ushûl (ushûliyyun), dan ahli fiqh (fuqahâ') berbeda pendapat dalam
memberikan batasan makna atau pemakaian istilah hadis dan sunnah.
Menurut ahli hadis, sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad
'Ajjâj al-Khathîb, adalah:
كل
ما أثر عن النبي صلى الله عليه و سلم، من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو
خلقية أو سيرة سواء أ كان قبل البعثة ... أم بعدها.( 'Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19)
Artinya: Setiap perkataan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang diriwayatkan dari
Nabi Saw baik sebelum menjadi rasul … atau sesudahnya.
Diantara persoalan yang menonjol
yang diangkatkan dari pengertian sunnah di atas adalah masuknya unsur sebelum
kenabian kedalam pengertian sunnah.
Didasarkan pada sejarah kehidupan
Muhammad, maka diperoleh fakta bahwa sikap dan perilaku Muhammad sebelum
diangkat menjadi Nabi/rasul sangat baik, hal ini dapat diperhatikan dari
informasi berikut:
Perjalanan hidup
Nabi Saw, merupakan bagian dari perjalanan hidupnya yang harum, seperti pertapaannya
di gua hira dan perjalanan hidupnya yang baik dan perbuatannya yang mulia
sebelum kenabian. Karena sejarahnya sebelum kenabian termasuk keimanan kepada
keberadaan Nabi Saw dan membenarkannya dalam klaim risâlah. Sayyidah Khadîjah
Ra menunjukkan perjalanan hidupnya yang baik dan perbuatannya yang mulia
sebelum kenabian, bahwa Muhammad menduga Allâh akan menghinakannya ketika dia
kembali ke Khadijah dari Gua Hirâ' yang menggetarkan jantung setelah
didatangi Malaikat. (Muhammad) berkata kepadanya: "Aku takut pada
diriku. Al-Sayyidah Khadîjah berkata: "
كلا و الله ما
يحزيك الله أبدا، إنك لتصل الرحم و تحمل الكل و تكسب المعدوم و تقري الضيف و تعين
على نوائب الحق.
Artinya: Tidak, Allâh tidak akan menghinakanmu selamanya.
Karena engkau menyambung shilaturrahmi, menanggung kesulitan, mencari yang
hilang, memuliakan tamu dan menolong dalam mewakili kebenaran.
Dalam
riwayat al-Bukhâriy dalam Kitâb al-Tafsîr (تصدق
الحديث) demikian pula dalam
riwayat Muslim.
Ini merupakan sejarah seorang yang
dikreasikan Allâh sendiri dan mempersiapkannya untuk mengemban risalah penutup
ini, maka Nabi Saw harus memelihara Nabi Saw sebelum risalah, dan mencegahnya
dari sesuatu yang hina, sehingga sejarahnya
sebelum risalah tidak menjadi sebab berpalingnya masyarakat darinya dan
berpaling dari dakwahnya. Rasûlullâh Saw memilih untuk mengemban risalah orang
yang layak untuk mengembannya dan yang bias melaksanakan kewajibannya
sebagaimana firman Allâh SWT:
الله
يصطفي من الملائكة رسلا و من الناس (Q. S. Al-Hajj/23: 75).
Dan sebagaimana firman Allah SWT الله أعلم حيث يجعل رسالته (Q. S. al-An'âm/6: 124).
Allâh
SWT tidak memilih untuk mengembannya orang yang menjadi sebab berpalingnya
masyarakat dari risalahnya. Justru itu, sejarahnya dapat dijadikan bukti
pengakuan risalahnya, bahwa dia jujur tidak berdusta selamanya, pada haris dia
mendaki bukit dan menyeru kaumnya kemudian bertanya kepada mereka:
"Bagaimaa pendapat kamu sekalian, jika aku mengatakan bahwa kuda berada di
balik lembah ini ingin merubah kamu sekalian, apakah kamu membenarkanku? Mereka
menjawab: "Ya, kami belum pernah mendengarmu berdusta". Dengan
demikian Rasûlullâh Saw sudah memberikan bukti kepada mereka dan mereka sendiri
bersaksi bahwa dia jujur dan dipercaya. Dan inilah rahasia kegusaran
orang-orang kafir Makkah terhadapnya. Jika tidak demikian, maka mereka tidak
merisaukannya dan meragukannya dan dakwahnya dari peristiwa sejarah sebelumnya.
Riwayat
dari Ibn 'Abbâs Ra, dia berkata:
لما نزلت: "و
أنذر عشيرتك الأقربين و رهطك منهم المخلصين. خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم
حتى صعد الصفا فهتف: "يا صباحاه". فقالوا: "من هذا؟".
فاجتمعوا إليه فقال: "أ رأيتم إن أخبرتكم أن خيلا تخرج من سفح هذا الجبل، أ
كنتم مصدقي؟ قالوا ما جربنا عليك كذبا". قال: "فإني نذير لكم بين يدي
عذاب شديد". قال أبو لهب: "تبا لك ما جمعتنا إلا لهذا". ثم قام
فنزلت: "تبت يدا أبي لهب و تب". "و قد تب" هكذا قرأها الأعمش
يومئذ (al-Bukhâriy,
2007: VIII/737).
Artinya: Ketika ayat [و أنذر عشيرتك
الأقربين و رهطك منهم المخلصين]
Rasûlullâh Saw keluar dan mendaki bukit al-Shafâ, kemudian dia berkata:
"Wahai hari shubuh! Mereka bertanya: "Apa ini?" maka mereka
berkumpul di sekelilingnya. Dia bertanya: "Bagaimana pendapat kamu
sekalian: "Jika aku mengkhabarkan bahwa kuda keluar dari lembah bukit ini,
apakah kamu mempercayaiku? Mereka menjawab: "Kami belum pernah mendengarmu
berdusta". Nabi Saw berkata: "Sesungguhnya aku adalah pember kabar
buruk bagi kamu sekalian dihadapan kamu sekalian ada azab yang pedih". Abû
Lahab berkata: "Celakalah kamu, kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini,
kemudian dia berdiri. Kemudian turun ayat: "Cealakalah kedua tangan Abiy
Lahab, sungguh dia celaka". Dan "Dan sungguh dia telah celaka".
Demikian al-A'masy membacanya.
Heraklius –Raja Romawi—menjadikan
sifatnya, perjalanan hidupnya yang baik sebelum kenabian sebagai bukti
kebenaran kenabiannya dan kebenaran ajaran yang dibawanya. Dia mengetahuinya
dari Abû Sufyân ibn Harb –pemimpin orang-orang musyrik ketika itu, dan
Abû Sufyân tidak bisa berdusta dalam ceritanya.
Didalam
riwayat Heraklius dari Abd Allâh ibn Abbâs, bahwa Heraklius bertanya kepada Abû
Sufyân ibn Harb dari Rasûlullâh Saw, diantara hal yang ditanya Heraklius
kepada Abû Sufyân:
Artinya: Apakah kamu menuduhnya berdusta sebelum dia
mengatakan apa yang dikatakannya sekarang? Aku menjawab: "Tidak". …
apakah dia …? Aku menjawab: "Tidak". Heraklius bertanya kepada Abû
Sufyan: "Aku bertanya kepadamu: "Apakah kamu menuduhnya berdusta
sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya sekarang? Kamu mengaku
"tidak". Maka aku tahu bahwa dia tidak akan mengajak manusia kepada
kebohongan dan berdusta kepada Allâh". Aku bertanya: "Apakah dia
curang?" kamu mengaku: "Tidak" demikian pula para rasul, mereka
tidak akan berlaku curang.
Disamping itu, kita harus mengetahui
bahwa Allâh berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia, bahwa Nabi Saw telah dididik
diatas standar nilai akhlak yang agung, dalam surat Makkiyah dalam surat
Alquran yang awal turun, yakni surat al-Qalam, dimana Allâh SWT berfirman:
و
إتك لعلى خلق عظيم. (Q. S. Al-Qalam/4).
[dan sesungguhnya kamu berada dalam
akhlak yang agung]. Allah menetapkannya dalam akhlak yang baik –dalam bentuk
malu, kemuliaan, kesantunan, lapang dada, berani dan lainnya.
Demikianlah diantara sikap dan
tingkah laku Muhammsd prakenabian.
Menurut ahli ushul, antara lain, al-Syâthibiy (ahli Ushûl
al-Fiqh dari Madzhab Mâlikiy) mengemukakan tiga pengertian untuk penggunaan
kata sunnah.
Pertama,
ما
جاء منقولا عن النبي صلى الله عليه و سلم على الخصوص مما لم ينص عليه في الكتاب
العزيز، بل إنما نص من جهته عليه الصلاة و السلام، كان بيانا لما في الكتاب أو لا.(Al-Syâthibiy, [t. th.]: II/IV/3)
Artinya: Sesuatu yang berasal dari Nabi
Saw secara khusus yang tidak ditegaskan dalam al-Kitâb al-'Azîz, tetapi
ditegaskan dari Nabi Saw, sebagai penjelas (ajaran) yang terdapat dalam
al-Kitâb atau bukan (penjelas).
Kedua,
مقابلة
البدعة.(ibid.).
Artinya:
Anonim bid'ah.
Ungkapan فلان
على سنة (si Fulan melaksanakan
sunnah) dikemukakan apabila dia beramal sesuai dengan amal Nabi Saw dan ungkapan
فلان على بدعة (si Fulan melakukan bid'ah) dikemukakan apabila dia beramal
tidak sesuai dengan amal Nabi Saw.
Yang dipandang dalam penggunaan ini
adalah amal Nabi Saw, penggunaan kata sunnah terkait dengan aspek ini, walaupun
amal tersebut merupakan tuntutan al-Kitâb.
Ketiga,
ما
عمل عليه الصحابة، وجد ذلك في كتاب الله أو السنة أو لم يوجد. (ibid.).
Artinya: Sesuatu yang diamalkan oleh
para shahâbiy, baik yang ditemukan dalam Kitâb Allâh atau sunnah maupun
tidak.
Amal shahâbat dikelompokkan ke dalam sunnah karena,
antara lain, ia mengikuti sunnah yang shahîh pada mereka
yang belum sampai kepada kita atau ijtihad yang mereka sepakati atau yang
disepakati oleh para Khalîfah mereka, karena ijmâ' mereka diakui dan
amal para Khalîfah pada hakikatnya merujuk ke ijmâ', dari segi
menggiring masyarakat memenuhi tuntutan kemashlahatan.
Pengertian ini didukung oleh sabda Nabi Saw:
... عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين ... ().
Artinya: Hendaklah kamu sekalian
berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalîfah yang cerdas lagi diberi
bimbingan (oleh Allâh).
Apabila ketiga pengertian tersebut di atas dihimpun maka
diperoleh empat elemen sunnah: Perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw
semuanya itu adakalanya diterima dengan wahyu atau dengan ijtihad (didasarkan
bahwa kebenaran ijtihad merupakan haknya)— dan sesuatu yang berasal dari para
shahâbiy atau khalîfah.
Demikianlah perngertian sunnah menurut al-Syâthibiy.
Al-Âmidiy (ahli Ushûl al-Fiqh dari Madzhab Syâfi'iy)
mengemukakan dua pengertian untuk penggunaan kata sunnah:
Pertama,
ما
كان من العبادات نافلة منقولة عن النبي عليه السلام. (ِAl-Âmidiy, [t.
th.]: I/145.).
Artinya: Ibadah sunat yang diriwayatkan
dari Nabi Saw.
Kedua,
ما
صدر عن الرسول من الأدلة الشرعية مما ليس بمتلو، و لا هو معجز، و لا داخل في
المعجز .( Al-Âmidiy, loc.
cit.).
Artinya: Dalil-dalil syar'iyah yang
bersumber dari Nabi Saw yang tidak dibacakan (oleh Allâh melalui Jibril), bukan
mukjizat dan tidak termasuk kelompok mukjizat.
Yang dimaksud dengan sunnah menurut
ahli ushûl al-fiqh untuk pengertian pertama adalah pengertian yang pertamanya
sedangkan untuk pengertian kedua adalah adalah pengertian yang keduanya.
Dari kedua pengertian tersebut
ditemukan persamaan: keduanya sama-sama mengemukakan bahwa ajaran yang terdapat
dalam sunnah tidak terdapat nashnya dan atau penjelasannya dalam Alquran dan
keduanya sama-sama menyatakan bahwa sesuatu disebut sunnah hanyalah sesuatu
yang berasal dari Nabi Saw yang dapat dijadikan dalil hukum syar'iy.
Muhammad 'Ajjâj al-Khathîb (Ahli Hadîts di
Universitas Damaskus) menyimpulkan pengertian sunnah menurut ahli Ushûl
al-Fiqh, dimana definisi yang dikemukakannya mencakup kedua pengertian di atas—
sebagai berikut:
كل
ما صدر عن النبي صلى الله عليه و سلم، غير القرآن الكريم، من قول أو فعل أو تقرير،
مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي. (Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19.).
Artinya: Setiap perkataan, perbuatan,
dan persetujuan —selain Alquran— yang bersumber dari Nabi Saw yang pantas
dijadikan dalil hukum syar'iy.
Menurut ahli Fiqh, sunnah sebagaimana dikemukakan oleh
al-Âmidiy adalah:
ما كان من
العبادات نافلة منقولة عن النبي عليه السلام. (Al-Âmidiy, [t.
th.]): I/145.).
Artinya: Ibadah sunat yang diriwayatkan
dari Nabi Saw.
Muhammad 'Ajjâj al-Khathîb menyimpulkan bahwa istilah
sunnah mereka pakai untuk menunjukkan salah satu bentuk atau sifat hukum,
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad 'Ajjâj al-Khathîb, adalah:
كل
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم و لم يكن من باب الفرض و لا الواجب. (Ajjâj
al-Khathîb, ibid.).
Artinya: Setiap sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Saw dan tidak termasuk fardh dan wâjib.
Perbedaan pendapat di kalangan ahli di atas dilatarbelakangi
oleh perbedaan spesialisasi dan objek kajian mereka, sesuai dengan disiplin
ilmu yang mereka tekuni.
Objek kajian ahli hadits adalah diri
Nabi Saw dari segala aspeknya –sebagai imam yang membimbing, mengarahkan, dan member nasehat—dimana Allah mengkhabarkan bahwa dia merupakan
contoh yang baik dan ikutan bagi orang Islam. Maka mereka meliput segala
sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw, baik yang bermuatan hukum dan tidak.
Objek kajian ahli ushul adalah Nabi Saw
sebagai pembuat syari'at yang menjelaskan kepada manusia aturan kehidupan,
membuat kaidah-kaidah buat para mujtahid sesudahnya, maka mereka meliput segala
sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang bermuatan dalil hukum.
Sementara objek kajian ahli fiqh adalah
perbuatan Nabi Saw yang bermuatan hukum syar'iy -- wujub, nadab, karahah,
haram, ibâhah-- maka mereka meliput perbuatan Nabi Saw yang
bermuatan hukum tersebut.
Anonim kata سنة adalah kata بدعة
(bid'ah). Kata bid'ah adalah kosa kata bahasa Arab. Ia adalah mashdar
dari kata بدع – يبدع. Kata بدعة berarti الأمر المستحدث (persoalan yang baru). Asal makna kata ini adalah membuat
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada ayat 9
surat al-Ahqaf.
ما كنت بدعا من الرسل.
Maksudnya, aku bukanlah orang yang
pertama membawa risalah dari Allah kepada manusia, tetapi sudah terdapat para
rasul sebelumku.
Secara istilah, para ahli berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian bid'ah.
Al-Syathibiy mengemukakan dua
pengertian bid'ah. pertama:
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها
المبالغة في التعبد لله سبحانه.
Kedua,
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الطريقة الشرعية يقصد بالسلوك
عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية. (Al-Syathibiy, al-I'tisham, I/37.).
Menurut Ibn Taymiyah, bid'ah adalah:
ما خالفت الكتاب و السنة و إجماع سلف الأمة من الإعتقادات و
العبادات. (Ibn Taymiyah, Majmu' Fatawa Ibn Taymiyah, XVIII/346.).
ما أحدثه الناس من قول أو عمل في الدين و شعائره مما لم
يؤثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم و عن أصحابه. ('Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, op. cit.: 23.).
Artinya: Perkataan
dan perbuatan dalam agama dan syi'arnya yang diadakan manusia yang tidak
bersumber daru Rasul Saw dan shahabatnya.
Pengertian bid'ah yang pertama yang
dikemukakan oleh al-Syathibiy adalah pengertian yang dikemukakan oleh ahli yang
tidak memasukkan adat dalam makna bid'ah dan hanya mengkhususkannya untuk
ibadah. Pengertian bid'ah yang kedua adalah pengertian yang dikemukakan oleh
ahli yang memasukkan adat dalam makna bid'ah. Berdasarkan hal ini, bid'ah
dibatasi pada sesuatu yang keluar dari gambaran Syari'. Setiap yang baru yang
berhubungan dengan agama, seperti ilmu-ilmu yang membantu memahami syari'ah,
tidak termasuk bid'ah.
Pembatasan pengertian bid'ah dengan
keyakinan, perkataan, perbuatan yang diadakan manusia dalam agama, baik dengan
melakukan atau tidak melakukannya, dalam pengertian keempat, dimaksudkan agar
tidak masuk di dalamnya perbuatan yang diadakan manusia sebagai tuntutan
kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan dengan prinsip syari'ah yang tidak
terdapat pada masa Rasulullah Saw.
Sebagian ahli, misalnya al-'Izz ibn
'Abd al-Salam, mempergunakan kata bid'ah untuk sesuatu yang diadakan
manusia dalam selain agama, baik dengan melakukan atau tidak melakukannya
sebagai tuntutan kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan dengan prinsip
syari'ah yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw. Maka dia membagi bid'ah
menjadi wajibah, muharrimah, mandubah, makruhah, dan mubahah.
Menurut al-'Izz, diantara contoh bid'ah
wajibah adalah menekuni ilmu nahu yang dipegunakan untuk memahami firman Allah
dan Rasul-Nya Saw, menghafal kata-kata gharib dalam al-Qur'an dan al-Sunnah,
dan kodifikasi ushul al-fiqh dan lainnya. (Abd al-Salam, …: 173.). Bid'ah yang dipandangnya wajib termasuk bagian
mashlahat. Diantara contoh bid'ah muharramah adalah bid'ah yang
dilakukan oleh aliran Qadariyah dan Mujassimah. Diantara contoh bid'ah yang
makruhah adalah membaca Alquran dengan lahn dimana
lafazh Alquran berubah dari peruntukan kata dalam bahasa Arab.
Diantara contoh bid'ah dalam keyakinan
adalah antropomorpisme; dalam perbuatan adalah bernadzar puasa dibawah terik
matahari, dan; dalam perkataan adalah zikir dengan suara yang sama dengan
berjama'ah. Diantara bid'ah yang terjadi dengan meninggalkan yang mubah tanpa
udzur syar'iy dan sangat berlebihan dalam ibadah adalah mengharamkan tidur,
tidak menikah, tidak berbuka puasa dan senantiasa berpuasa. Dalam hal ini
Rasulullah Saw bersabda:
... من رغب عن سنتي
فليس مني.
Dalam hal ini, al-Syathibiy
berpendapat: "Setiap orang yang mengharamkan dirinya untuk memperoleh
sesuatu yang dihalalkan Allah tanpa uzur syar'iy maka ia keluar dari sunnah
Nabi Saw, dan orang yang beramal tanpa didasarkan sunnah dan menganggap dirinya
mengamalkan agama maka pelakunya disebut mubtadi'. (Al-Syathibiy, al-I'tisham. I/44).
B.
Pengertian Hadîts
Kata Hadîts
((حديث adalah salah satu kosa kata bahasa
Arab. Kata الحديث secara bahasa
berarti: الجديد lawan dari kata القديم; dan juga berarti الخبر atau القصص. (Ibn Manzhûr, …: …).
Secara
istilah, terdapat perbedaan para ahli dalam memberikan pengertian Hadîts.
Menurut
ahli Hadîts, Hadîts tidak sama dengan sunnah, karena yang
dimaksudkan ialah riwayat-riwayat yang berasal dari Rasûlullah Saw setelah menjadi
rasul (بعد البعثة)(Ajjâj al-Khathîb, op. cit.: 19).
Jadi, dari segi kandungan makna,
sunnah mengandung makna yang lebih luas darip pada Hadîts.
Menurut ahli ushûl al-fiqh, Hadîts tidak sama dengan
sunnah, karena yang dimaksud adalah sunnah qawliyyah. (Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19).
Jadi, dari segi kandungan makna,
sunnah juga mengandung makna yang lebih luas dari pada Hadîts.
C.
Pengertian al-Khabar
Kata الخبر (al-Khabar)
adalah salah satu kosa kata bahasa Arab. Jamaknya adalah الأخبار (al-akhbâr).
Secara bahasa kata al-khabar berarti النبأ (al-naba'; berita yang besar) (Ibn
Manzhûr, op. cit., II/109).
Para ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-khabar.
Sementara ahli berpendapat, bahwa al-khabar sinonim dengan Hadîts.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh al-'Asqalâniy. Pendapatnya, al-kabar
adalah:
مرادف للحديث ( (Ibn Hajar, …:3)
Artinya: Sinonim dengan Hadîts.
Sementara ahli lain berpendapat,
bahwa al-khabar adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pendapat
ini, antara lain, dikemukakan oleh ahli fiqh Khurasân. Pendapatnya, al-khabar
adalah:
ما يروى عن
الرسول صلى الله عليه و سلم.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan dari
Rasul Saw.
D.
Pengertian al-Atsar
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار (âtsâr). Secara bahasa kata الأثر
berarti: بقية الشيء (bekas sesuatu) (Ibn Manzhûr, op. cit.: …: …).
Para ahli berbeda pendapat dalam
memberikan batasan makna al-atsâr. Menurut al-Nawawiy, al-atsar
adalah:
المروي
مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahâbiy.
Pendapat
yang mirip dikemukakan oleh al-Sakhâwiy, menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
(al-Syakhâwiy,
…: …).
Pendapat ini, menurut al-Nawawiy
dipilih oleh para ahli Hadîts dan selain mereka dan juga diperpegangi
oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara argument penggunaan kata al-atsar
untuk sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abû
Ja'far al-Thahâwiy menamakan kitabnya dengan شرح
معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfû',
mawqûf, dan maqthû'. Pengertian ini sejalan dengan makna bahasa,
karena kata al-atsar terambil dari ungkapan أثرت
الحديث yang
berarti رويته (saya meriwayatkannya).
Menurut ahli fiqh Khurasân, antara
lain Abû al-Qâsim al-Fawrâniy, sebagaimana dikutip oleh al-Khasyû'iy
al-Khasyû'iy Muhammad al-Khasyû'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي (al-Khasyû'iy, 1424 H./2004: 31.).
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan dari
shahâbiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasân,
al-atsar adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari selain Nabi Saw.
Berdasarkan hal ini, maka kata al-atsar
dipergunakan untuk Hadîts mawqûf dan maqthû' dan tidak
dipergunakan untuk Hadîts marfû'.
Diantara argumen penggunaan kata al-atsar
untuk sesuatu yang diriwayatkan dari selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy
menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfû'
dan selainnya. Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan, pertama (السنن) dan
kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak sama dengan yang
kedua, yang pertama adalah Hadîts marfû' sedangkan yang kedua
adalah Hadîts mawqûf dan maqthû'.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Ajjâj al-Khathîb, Muhammad. Ushûl
al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu . Bairût: Dâr al-Fikr. 1989.
Al-Âmidiy,
Aliy ibn Abiy 'Aliy ibn Muhammad Abû al-Hasan. al-Ihkâm
fiy Ushûl al-Ahkâm Bairût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah. [t. th.].
Al-Khasyû'iy,
al-Khasyû'iy Muhammad. Ghayat al-Îdhâh
fiy 'Ulûm al-Ishthilâh. Al-Qâhirah: Jâmi'at al-Azhar. 1424 H./2004.
Al-Syâthibiy,
Ibrâhim ibn Mûsâ al-Lakhmiy al-Gharnâthiy al-Mâlikiy Abû Ishâq. Al-Muwâfaqât
fiy Ushûl al-Syarî'ah. Bairût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah. [t. th.].
Ibn
'Abd al-Salam, Al-Izz. Qawa'id al-Ahkam.
Ibn Hajar, Ahmad
ibn 'Aliy … al-'Asqalâniy. Syarh
Nukhbat al-Fikr fiy Mushthalah Ahl al-Âtsâr (Syarh
Nukhbat).
Ibn Manzhûr, Muhammad ibn
Mukarram. Lisân al-'Arab. Al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts.
Ibn
Taymiyah, Majmu' Fatawa Ibn Taymiyah. XVIII/346.
Muslim, Abu al-Husayn …
ibn al-Hajjâj al-Qusyayriy al-Naysâbûriy. Shahîh Muslim.
Bairût: Dâr al-Fikr. t. th.