Sabtu, 09 Juni 2012

al-Qardh


1. Definisi al-Qardh
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta. dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah dari Qardh.
A.Pengertian Pinjaman Menurut Bahasa Arab

     Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam antar sesama. Salah seorang penyair berkata,“Sesungguhnya orang kaya bersaudara dengan orang kaya, kemudian mereka saling meminjamkan, sedangkan orang miskin tidak memiliki saudara”

B. Pengertian Pinjaman Menurut Hukum Syara’
Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan Qardh:
1. Menurut pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah               
     apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam  
     kepunyaannya dalam baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga  
    untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan
    memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang,
    disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.
C. Definisi lain

Menurut Syafi’i Antonio (1999), qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan. Menurut Bank Indonesia (1999), qardh adalah akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.
2. Aspek Syariah Al-Qardh
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadits riwayat ibnu majjah dan ijma ulama.Sungguhpun demikian ,Allah SWT mengajarjkan kepada kita agar meminjamkan sesuatu bagi “agama Allah”.
a. Al-Qur’an
    Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya     
    di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
    yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
    dikembalikan.(Al-Baqarah : 245)
     Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
     menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
     sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(Al-Maidah : 2)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”,artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah.
Selaras dengan memeinjamkan kepada Allah,kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”.Sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
b. As-Sunnah
    Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
  “Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ’shadaqoh (akan diganti) dengan 10
    kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih   
    utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu,
    sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”.
    (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits
    serupa dari Abu Umamah ra).
    Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata,”Bukan seorang muslim (mereka)ang
    meminjamkan muslim(lainya)dua kali lipat kecuali yang satunya adalah (senilai)sedekah”(HR Ibnu
    Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi).
c. Ijma’
    Secara ijma’ juga Para ulama  menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan.
    Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi  
    muqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa
    hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya.Tidak ada sesoranga pun yang memiliki segala
    barangyang ia butuhkan.Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari
    kehidupan di dunia ini.Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan   
    umatnya.
3. Aplikasi dalam Perbankan
Akad qard biasanya diterapkan sebagai  berikut:
a. Sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
    bonafiditasnya,yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang rlatif pendek.Nasabah
    tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
b. Sbagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat,sedangkan ia tidak bisa menarik dananya
    karena,misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
c. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kcil atau memebayar sektor sosial.Guna
    pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qardh Al-hasan
Hal yang diperbolehkan pada Qardh
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta, biji-bijian.
4. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh (penyerahan).Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung.
Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki harta yang menjadi objek Qardh selama Qardh itu berlangsung.
Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur, dan yang diukur, seperti kain bahan. Di perbolehkan juga meng-qardh roti, baik dengan timbangan atau biji.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang.
Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.
5. Manfaat al-qardh

a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka
    pendek.
b. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri  syariah dan bank konvensional yang didalamnya
    terkandungØpembeda antara bank misi social, disamping misi komersial.
c. Adanya misi kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan
    loyalitasmasyarakatkepadabanksyariah.
d. Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan
    jaminan.
Dilihat dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya.
a. Pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya
    Yaitu apa yang diberikan oleh seorang muslim untuk membantu saudaranya tanpa mengharap
    kembalinya barang tersebut karena semata-mata untuk mengharapkan balasan di akhirat nanti.
    Hal ini mencakup infaq untuk berjihad, infaq untuk anak-anak yatim, infaq untuk orang-orang
    jompo, dan infaq untuk orang-orang miskin. Jenis ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan
    kata ‘al-qardh’, sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT “Dan berperanglah kamu sekalian
    di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
    (Q.S Al-Baqarah : 244)
    “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya  
      di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
      yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
      dikembalikan.”(Q.S Al-Baqarah : 245)
Sebagaimana yang kita lihat ayat diatas, jelaslah bahwa pinjaman yang dimaksud disini  
 berbeda dengan apa yang sering kita lihat didalam kehidupan bermasyarakat, yang mana seseorang meminjam dari temannya karena didorong oleh adanya suatu kebutuhan. Karena pinjaman yang dimaksud dalam ayat ini sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
b. Pinjaman seorang hamba untuk saudaranya
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masalah ini.Madzhab Abu Hanifah berkata, “Pinjaman yang diperbolehkan adalah sesuatu yang mempunyai persamaan yang mungkin dapat digantikan dengan sesuatu yang seruoa, akan tetapi menyangkut barang-barang bernilai seperti hewan, property, kayu bakar dan segala sesuatu yang tidak mungkin ditemukan barang yang serupa dan persis dengannya waktu pengembalian barang pinjaman tersebut, maka tidak boleh dipinjamkan. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan.

Madzhab Imam Malik menambahkan definisi ini dengan beberapa point berikut :
• Hendaklah barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual, dengan begitu tidak dibenarkan
   meminjamkan sepotong api.
• Orang yang meminjam harus mengembalikan barang pinjamannya.
• Pengembalian pinjaman hendaklah diberikan sesudah menerima pinjamannya.
• Hendaklah orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat untuk memberikan manfaat kepada
   orang yang meminjam saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun
   untuk mendapatkan keuntungan bersama.
• Tidak boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan kepada seseorang untuk
   dimanfaatkan
• Hendaklah orang yang meminjam sesuatu harus menjamin bahwa ia akan mengembalikan  
   pinjamannya, sehingga dalam hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan.
Setelah kita memberikan pinjaman kepada seseorang (saudaranya), hendaklah pinjaman tersebut mengandung unsur kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah jatuh tempo.
Ber-ihsan dalam menagih hutang (Qardh), adakalanya dilakukan dengan menganggapnya lunas, semua maupun sebagiannya, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran tersebut yang telah jatuh tempo, ataupun dengan mengurangi pelbagai persyaratan pembayaran yang telah memberatkan. Semua itu sangat dianjurkan, Sebagaimana dalam Sabda Nabi SAW :
“Rahmat Allah tercurah atas siapa-siapa yang’mudah’ dalam membeli, ‘mudah’ dalam menjual, ‘mudah dalam membayar dan ‘mudah’ dalam menagih”
Rasulullah SAW, juga pernah menyebutkan tentang seorang laki-laki yang masa lalunya penuh dengan perbuatan dosa, yang ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan amal kebaikan yang pernah ia lakukan.
Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah anda tidak pernah melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya dahulu adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa mengingatkan kepada para pegawai saya : ‘Perlakukanlah yang mampu diantara para penghutang dengan perlakuan yang baik, dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam kesusahan’. (Dalam versi lain : ‘….dan maafkanlah (yakni anggaplah hutangnya lunas) bagi yang dalam kesusahan’). Lalu Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya dan mengampuninya.
Seandainya semua masyarakat mengetahui hal demikian, tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang (pemilik harta) berbuat zhalim kepada orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana, kita sebagai orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah menolong saudara-saudara kita yang telah dilanda kesusahan dengan memberikan bantuan berupa pinjaman yang ihsan, bahkan tidak sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan (menginfakkan, mensedeqahkan sebagaian hartanya tanpa mengaharapkan imbalan seperserpun tetapi hanya mengharap ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya memikirkan kehidupan duniawi manusia takluput akan kerakusan harta, yang diingat hanyalah berapa besar kelebihan dari kembalian harta yang telah dipinjamkan.
Pinjaman Berbunga
Bahwa pinjaman yang berbunga adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’. Keharaman itu meliputi segala macam bunga yang dijadikan syarat oleh orang yang memberi pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Oleh sebab itu, pinjaman semacam itu diserupakan dengan bantuan keuangan. Seolah-olah orang yang meminjamkan uang itu, mengambil kembali uang tersebut. Namun, yang diambil kembali bukan uang yang dipinjamkan, tetapi senilai dengan uang tersebut. Berarti derajatnya sama dengan orang yang meminjami fasilitas uangnya kemudian mengambil kembali uangnya. Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir dimasa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik didunia maupun diakhirat dari Allah SWT.
Jenis-jenis pinjaman yang mengandung riba
1. Pinjaman Konsumtif
Pinjaman-pinjaman semacam ini dilakukan oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Pinjaman jenis ini amat biasa di kalangan orang-orang miskin dan menengah, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, seperti terjadi di Indonesia sejak dilanda krisis multidimensi salah satu diantara krisis moneter, dimana terjadi kenaikan pada semua harga barang, akibatnya masyarakat kesusahan untuk membutuhkan barang tersebut karena nilai mata uang yang menurun disamping itu juga pendapatan masyarakat yang cenderung tidak meningkat. Sebagian besar orang mengambil pinjaman ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian besar dari pendapatan mereka diambil alih oleh pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di negara-negara yang sedang berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar utang yang diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka sangat rendah sehingga setelah membayar bunga, sangat sedikit yang tersisa untuk menjadikan mereka mampu mendapatkan satu dua piring makanan setiap hari.
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus ini telah merendahkan standard kehidupan dan pendidikan anak-anak mereka. Disamping itu, kecemasan yang terus menerus rupanya mempengaruhi efisiensi kerja mereka yang pada akhirnya akan memperlemah perekenomian negara mereka.
Selanjutnya, pembayaran bunga telah mengurangi (menurunkan) daya beli di kalangan mereka. Oleh karena itu, industri yang memenuhi permintaan golongan miskin dan menengah akan memperoleh kesan akan rendahnya permintaan pada kalangan tersebut. Dan secara berangsur-angsur tetapi dengan pasti, hal ini akan menurunkan pembangunan industri serta menghambat kemajuan masyarakat.
1. Pinjaman Produktif
Pinjaman ini dilakukan oleh para pedagang, industrialis dan para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif termasuk dalam kategori peminjam jenis ini. Kapitalis, dengan malapraktek mereka, telah menimbulkan banyak kesengsaraan dengan memungut bunga dari para peminjam, begitu juga terhadap masyarakat.
6. Aplikasi Qardh
Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan ada empat hal:
a.Sebagai pinjaman talangan haji
b.Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syariah
c.Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil
d Sebagai pinjaman kepada pengurus bank
Rukun dan Syarat
1. Rukun :
- Muqridh (pemilik barang)
- Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
- Ijab qobul
- Qardh (barang yang dipinjamkan)
2. Syarat sah qardh :
- Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada
   kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
- Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya dalam jual beli.
3. Sumber dana
Sifat qardh tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
a. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social, dapat
    bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah.
b. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka
    pendek. Talangan dana di atas dapat diambilakan dari modal bank.
Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
-          Dalam pengurusan haji bagi nasabah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat memperoleh
        imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI no. 9/DSN-
        MUI/IV/2000.
-         Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang
       diberikan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah.
-         Apabila diperlukan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran
       BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor
       19/DSN-MUI/IV/2001.[1][3]
Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
-          Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah
         pengurusan haji dan talangan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
-          Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam
        berbagai produknya.
-          Agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syari’ah, maka Dewan Syariah
        Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh
        Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) untuk dijadikan pedoman.[1][4]
Berdasarkan pertimbangan di atas itulah, Dewan Syariah Nasional memberikan ketetapan hukum boleh melakukan ibadah haji dengan bantuan talangan dari pihak Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS), dengan syarat ia harus mampu melunasinya dalam waktu yang telah disepakati.
Bahkan pendapat yang paling ketat mensyaratkan pihak peminjam harus melunasinya sebelum pemberangkatan haji, sebab kalau tidak demikian berarti ia termasuk orang yang tidak diwajibkan menunaikannya karena belum cukup syarat (mampu). 
 Telaah terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Sistem keuangan dan perbankan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan yang dapat diterima secara religius kepada komunitas-komunitas muslim.[1][5] Dapat diterima secara religius artinya tujuan dari sirkulasi keuangan itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak mengandung unsur riba dan pemerasan. Jadi, aspek utama yang ditekankan di sini adalah kesejahteraan sosial yang dilihat dari apakah aktivitas tersebut menambahkegunaan (masalih) atau tidak (mafasid).[1][6]
Bila dikaitkan dengan jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) cukup jelas bahwa kegiatan tersebut sangatlah membantu kemudahan masyarakat yang ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yakni melakukan ibadah haji, meski biaya yang mereka butuhkan belum tersedia secara memadai. Menurut penyusun, faktor inilah yang menjadi pertimbangan Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan menalanginya bagi Lembaga Keuangan Masyarakat.
Bila ditelaah melalui perspektif ushul fiqh, sikap yang diambil oleh Dewan Syariah Nasional didasarkan para prinsip li al-maslahah al-mursalah. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa orang tersebut tetap berada dalam koridor istitha’ (sanggup atau mampu) untuk melunasinya dalam waktu yang disepakati, karena bila ia hanya mengandalkan keinginan semata tanpa disertai kesanggupan untuk melunasi berarti ia telah memaksakan diri (bukan berdasar keikhlasan) padahal yang namanya ibadah harus dilaksanakan secara ikhlas dan sesuai kesanggupannya. 
Berkaitan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai hukum penalangan tersebut apakah masuk dalam hukum ijarah (menyewa) ataukah qardh (meminjam), maka di bawah ini perlu didefinisikan kembali kedua istilah tersebut.
a.      Al-ijarah (operational lease) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
       pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah)   
       atas barang itu sendiri.[1][7]
b.      Al-Qardh (soft and benevolent loan) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
       ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
       Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategrikan dalam ‘aqd tathawwu’i atau akad saling
       membantu dan bukan transaksi komersial.[1][8]
Dari kedua definisi di atas dapat diketahui bahwa jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena dalam Islam, pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas jasa pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam Lembaga Keuangan Syari’ah pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila nasabah datang Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk keperluan naik haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam). Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas nama akad qardh untuk membantu menalangi pembiayaan haji, maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
 7.Al-Qardhul hasan
Allah swt berfirman: dalam al-Baqarah ayat 245 : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Secara umum, Qardh Hasan diartikan sebagai infak di jalan Allah, di dalam jihad dan peperangan demi menegakkan kebenaran dan bersedekah kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Ada juga yang mengatakan: Qardh Hasan itu adalah amal shaleh muthlaqon yang mana dia adalah bentuk transaksi pinjaman yang benar-benar bersih dari tambahan/bunga.
Pengertian “al-hasan” disini adalah ketika seorang muslim meminjamkan atau menginfakkan sesuatu yang ada pada dirinya hendaklah dia mengeluarkan sesuatu yang elok tanpa cela. Maka Qardh hasan itu pada dasarnya adalah sedekah yaitu pekerjaan yang mulia dengan mengharapkan keredhoan Allah semata.KESIMPULAN
Dari uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki keunggulan atau nilai lebih dibandingkan dengan bank konvensional dari segi pembiayaan, karena dalam bank syari’ah memiliki berbagai macam bentuk pembiayaan yang meudahkan bagi para nasabah dalam segi pembiayaan. Bank syariah juga memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan dengan bank konvensional, karena produknya dijamin halal.
 DAFTAR PUSTAKA
  • Antonio Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
  • www.google.com/wiipedia 
  • Antonio Syafi’I. Bank Syariah, PT Ekonisia, Yogyakarta; 2006
  •  Zuhaili Wahbah, Dr, Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar