RIBA DALAM
PANDANGAN ISLAM
Kata ar-ribâ
secara etimologis (bahasa) mempunyai konotasi az-ziyâdah (pertambahan); rabâ
as-syay’ artinya zâda ‘ammâ kâna ‘alayhi, bertambah dari kuantitas
sebelumnya.[1] Perlu dicatat, bahwa konotasi kata Arab tidak akan terlepas dari
tiga bentuk: Pertama, konotasi etimologis (al-ma’nâ al-lughawi); makna yang
digunakan oleh orang Arab agar kata bisa menunjukkan makna tersebut. Dari sini,
kata ribâ antara lain bisa berkonotasi “pertambahan” atau “peningkatan”. Jika
ada orang dikatakan, “Ribâ ar-rajulu fî qawmihi,” konotasinya adalah, “Irtafa’a
qadruhu,” (Kemampuannya meningkat). Kedua, konotasi tradisional/konvensional
(al-ma’nâ al-urfi); makna kata tertentu yang biasa digunakan oleh orang Arab
untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis.
Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks
bahasa (lughawi) ke konteks tradisi/konvensi (‘urfi). Misalnya, dalam
tradisi/konvensi para ulama ushul fiqh, kata ‘illat yang secara bahasa bermakna
penyakit dimaknai sebagai sabab at-tasyrî’ (latar belakang turunya hukum); atau
kata al-hâim yang secara bahasa berarti hakim, komandan, pimpinan dimaknai
sebagai Pembuat Hukum, yakni Allah. Dalam konteks pula, ribâ, secara
tradisional/konvensional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan
pertambahan yang ditetapkan sebagai kompensasi penangguhan utang, seperti
ungkapan: A taqdhi am turbil? (Apakah Anda mau dibayar cash atau ditagguhkan
dengan kompensasi tambahan).[2] Ketiga, konotasi syar’î (al-ma’nâ as-syar’î);
makna yang dikehendaki oleh syariat melalui penggunaan kata tertentu, bukan
makna asal yang digunakan secara etimologis. Misalnya, kata as-shawm (puasa)
secara syar’î digunakan untuk menyebut ibadah tertentu yang terikat dengan
waktu, tempo dan aturan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada kata ar-ribâ
yang digunakan oleh syariat untuk menunjukkan pertambahan dalam muamalah
tertentu, bukan yang lain; ar-ribâ berbeda pula dengan al-bay’ (jual-beli).
Dengan
demikian, setelah ribâ dideskripsikan oleh syariat tidak lagi berkonotasi
pertambahan secara mutlak, tetapi konotasinya menjadi: pertambahan akibat
pertukaran jenis tertentu, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran
dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majlis at-tabâdul), seperti yang terjadi
dalam ribâ al-fadhl, ataupun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu
(al-ajal), sebagaimana yang terjadi dalam ribâ an-nasî’ah aw at-ta’khîr.[3]
Inilah definisi ribâ secara syar’î.
Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan ribâ, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa ribâ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Mengenai hal
ini Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
bathil. (Qs. An- Nisâ’ [4]: 29).
Dalam
kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-Arabi
Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:
“Pengertian
ribâ secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud ribâ dalam ayat Qur’ani
yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si
penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika
dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi
simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan
dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam
kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman
tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu,
tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan
kesempatan tersebut.
Demikian
juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor
waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari
berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:
1. Badr
Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari: “Prinsip utama
dalam ribâ adalah penambahan. Menurut syariah ribâ berarti penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”
2. Imam
Sarakhsi dari mazhab Hanafi: “Ribâ adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.”
3. Raghib Al
Asfahani: “Ribâ adalah penambahan atas harta pokok.”
4. Imam
An-Nawawi dari mazhab Syafi’i: Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas
bahwa salah satu bentuk ribâ yang dilarang al-Qur’an dan As Sunnah adalah
penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal
tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah:
“Ribâ jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga
waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu
membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6. Zaid bin
Aslam: “Yang dimaksud dengan ribâ jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan
sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada
saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar sekarang atau tambah.’”
7. Mujahid:
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak
mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
8. Ja’far
Ash-Shadiq dari kalangan Syiah: Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya
mengapa Allah SWT mengharamkan ribâ – “Supaya orang tidak berhenti berbuat
kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman,
maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan
sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan
kebajikan antarmanusia.”
9. Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali: “Imam Ahmad bin Hanbal ketika
ditanya tentang ribâ beliau menjawab: Sesungguhnya ribâ itu adalah seseorang
memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar
lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga
pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”
10.
Asy-Syaikh Abdurrahman Taj mengatakan bahwa, ribâ adalah setiap tambahan yang
berlangsung pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’wwadhah tanpa mendapat
imbalan; atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.[4]
Secara garis
besar ribâ dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah ribâ hutang-piutang
dan ribâ jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi ribâ qardh dan ribâ
yâdd. Sedangkan kelompok kedua, ribâ jual-beli, terbagi menjadi ribâ fadhl dan
ribâ nasi’ah.[5]
1. Ribâ
Qardh adalah praktek ribâ dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan
syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.
2. Ribâ Yâdd
adalah praktek ribâ yang dilakukan oleh pihak yang peminjam yang meminjamkan
uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima
barang (aqad timbang terima). Munculnya ribâ dalam keadaan ini adalah karena
dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.
3. Ribâ
Fadhl adalah praktek ribâ dalam bentuk menukarkan barang yang sejenis tetapi
tidak sama keadaanya atau menukar barang yang sejenis tetapi saling berbeda
nilainya.
4. Ribâ
Nasi’ah adalah praktek ribâ memberikan hutangan kepada orang lain dengan tempo
yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai
tambahan atau sanksi.
Mengenai
pembagian dan jenis-jenis ribâ, berkata Imam Ibnu Hajar al-Haitsami: “Bahwa
ribâ itu terdiri dari tiga jenis, yaitu ribâ fadhl, ribâ al-yâdd, dan ribâ
an-nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu ribâ al qard. Beliau
juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash
al-Qur’an dan hadits Nabi.”
Para ahli
fiqh Islam telah membahas masalah ribâ dan jenis barang ribâwi dengan panjang
lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribâwi meliputi:
1. Emas dan
perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan
makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan
dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang
ribâwi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jual-beli
antara barang-barang ribâwi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama.
Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah
dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika
tukar-menukar.
2. Jual beli
antara barang-barang ribâwi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah
dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad
jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual-beli
barang ribâwi dengan yang bukan ribâwi tidak disyaratkan untuk sama dalam
jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak,
atau kertas) dengan pakaian.
Jual beli
antara barang-barang yang bukan ribâwi diperbolehkan tanpa persamaan dan
diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
Larangan
Ribâ Dalam al-Qur’an Dan as-Sunnah
Ummat Islam
dilarang mengambil ribâ apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak
melibatkan diri dengan ribâ bersumber dari berbagai surat dalam al-Qur’an dan
hadits Rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ (konsensus) kaum muslimin, termasuk madzhab
yang empat.[6]
1.
Larangan Ribâ Dalam al-Qur’an
Larangan
ribâ yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap.
Tahap
pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman ribâ yang pada zhahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub
kepada Allah SWT. Ayat ini diturunkan di Mekkah, tetapi ia tidak menunjukkan
isyarat apapun mengenai pengharaman ribâ. Yang ada hanyalah kebencian Allah
terhadap ribâ, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas ribâ.
Dan sesuatu
ribâ (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka
ribâ itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Qs. Ar-Rûm
[30]: 39).
Tahap kedua,
ribâ digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan ribâ.
Maka
disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan ribâ, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
(Qs. An-Nisâ’ [4]: 160-161).
Tahap
ketiga, ribâ diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat
yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa
tersebut. Allah berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan ribâ dengan berlipat-ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Qs.
Ali-Imran [3]: 130).
Ayat ini
turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa
kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya ribâ (jikalau
bunga berlipat ganda maka ribâ tetapi jikalau kecil bukan ribâ), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Demikian
juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat
al-Baqarah [2] yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut,
lihat pembahasan “Alasan Pembenaran Pengambilan Ribâ”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap terakhir,
Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
ribâ.
Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari
berbagai jenis) ribâ jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa ribâ) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan ribâ), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (Qs. Al-Baqarah
[2]: 278-279).
Ayat ini
baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabariy meriwayatkan bahwa “Kaum Tsaqif,
penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW
bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang
berdasarkan ribâ agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah
Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang
juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin
Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara ribâ kepada Bani Mughirah
dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan
ribâ. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang
banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (ribâ)
dari Bani Mughirah -seperti sediakala- tetapi Bani Mughirah setelah memeluk
Islam menolak untuk memberikan tambahan (ribâ) tersebut. Maka dilaporkanlah
masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini
Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW dan turunlah ayat di
atas. Rasulullah SAW lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau
mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”
Dengan
turunnya ayat ini, maka ribâ telah diharamkan secara menyeluruh. Tidak lagi
membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat ribâ berikutnya
sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir. Bagi kaum muslimin saat
ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah
menasakhkan hukum ribâ pada ayat-ayat sebelumnya. Juga, ayat diatas tadi
menjelaskan bahwasannya ribâ telah diharamkan dalam segala bentuknya. Dalam hal
ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai keharamannya. Sebab,
hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul dan Ijma’
sahabat, termasuk madzhab yang empat.
2. Larangan
Ribâ Dalam Hadits
Pelarangan
ribâ dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Qur’an melainkan juga al-Hadits.
Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut
aturan yang telah digariskan melalui al-Qu’ran, pelarangan ribâ dalam hadits
lebih terinci.
Dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah SAW masih
menekankan sikap Islam yang melarang ribâ.
“Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu.
Allah telah melarang kamu mengambil ribâ, oleh karena itu hutang akibat ribâ
harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu,
masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah ribâ. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan
oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya
membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan
peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau
melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga
melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-nerima dan memberi ribâ
serta beliau melaknat para pembuat gambar.” [HR. Bukhari, no. 2084 kitab
Al-Buyu].
Diriwayatkan
oleh Abu Said Al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis
kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau bertanya
kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai
sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk
satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah SAW”, selepas itu
Rasulullah SAW terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya ribâ, ini
sesungguhnya ribâ. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang
mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang
dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi
itu.” [HR. Bukhari, no. 2145, kitab Al-Wakalah].
Diriwayatkan
oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah SAW melarang
penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai
dengan keinginan kita.” [HR. Bukhari, no. 2034, kitab Al Buyu].
Diriwayatkan
oleh Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan
(cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia
telah berurusan denga ribâ. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” [HR.
Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah].
Diriwayatkan
oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malam tadi aku
bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan,
sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang
laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan
batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar,
tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan
memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu?’ Aku
diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan
ribâ.’” [HR. Bukhari, no. 6525, kitab At-Ta`bir].
Jabir
berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima ribâ, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” [HR. Muslim no. 2995, kitab Al
Masaqqah].
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj,
aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi
oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah
mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan ribâ.”
Al-Hakim
meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi SAW bersabda: “Ribâ itu mempunyai 73
pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang
melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku
adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat
petunjuk dariNya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan ribâ, pemakan harta
anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.
Dalam Hadits
lain Rosulullah mengisyaratkan akan muncul sekelompok manusia yang menghalalkan
ribâ dengan dalih “Bisnis”. Rosulullah bersabda: “Akan datang suatu saat nanti
kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan ribâ dengan dalih
bisnis” [HR. Ibnu Bathah dari Al-Auza’i]
Alasan
Pembenaran Pengambilan Ribâ
Sekalipun
ayat-ayat dan hadits ribâ sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada
beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan
bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1.
Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2.
Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang
“wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3.
Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian
tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits ribâ.
4.
Hanya ribâ yang konsumtif yang dilarang, tapi yang produktif tidak apa-apa
1.
Darurat
Untuk lebih
memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif
tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan
rasulNya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam As-Suyuthi dalam bukunya Al-Asybah wa an-Nadhâir menegaskan bahwa “darurat
adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan
sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau
kematian.”
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang
yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang
diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi
dengan 2 batasan:
“Barangsiapa
dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 173).
Pembatasan
yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi
ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah: “Darurat itu harus
dibatasi sesuai kadarnya.” Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada
batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam
maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga
seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh
melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan
dibagi-bagikan kepada tetangga.
2. Berlipat
Ganda
Pendapat
bahwa bunga hanya dikategorikan ribâ bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan.
Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari
pemahaman yang keliru atas Surat Ali-Imran [3] ayat 130.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan ribâ dengan berlipat-ganda
dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas,
surat Ali-Imran [3]: 130 ini memang hanya melarang ribâ yang berlipat-ganda.
Namun pemahaman kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya
dengan ayat-ayat ribâ lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap
fase-fase pelarangan ribâ secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa
ribâ dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
Kriteria
berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari ribâ,
dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi
pelipat-gandaan, maka ribâ, jikalau kecil tidak ribâ.
Menanggapi
hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris,
tahun 1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan
secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar
dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak
adalah 3. Dengan demikian bararti 3x2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah
ta’kid untuk penguatan.
Dengan
demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai
dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara
operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan
maupun simpan-pinjam.
Menanggapi
pembahasan Qs. Ali-Imran [3] ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk,
menegaskan:
“Adapun yang
dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan
pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa ribâ harus
sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik ribâ secara umum
bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan
berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum
dari ribâ dalam terminologi syara (Allah dan rasulNya).”
Dr. Sami
Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping melakukan
pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam
ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan
meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun
meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta
kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria
tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung
kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan
demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3
tahun.
Perlu
direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks
Ali-Imran [3]: 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks
antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar
pembungaan uang serta praktek ribâ pada masa itu.
Secara
sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti
konsekuensi secara terbalik - jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil
boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka
di luar… dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan
Allah SWT. Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara
mafhum mukhalafah:
“Dan
janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
“Diharamkan
bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.”
Janganlah
mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri
tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah
memakan daging babi! Yang dilarang me-makan dagingnya, sementara tulang, lemak,
dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak,
dan kulit babi halal?
Pemahaman
pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti
dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan
wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan,
demikian juga disiplin ilmu bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu
semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali-Imran [3]
diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari
surat Al-Baqarah [2] yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa
pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk,
ukuran, kadar, dan jenis ribâ.
3. Badan
Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian
ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat ribâ turun dan disampaikan di Jazirah
Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah
individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak
terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini
jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
i. Adalah
tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali.
Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang
mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan
mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam
tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum
adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari
sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih
besar dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan
dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan
obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya.
Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia
tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf. Memang ia bukan
insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan
berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang
rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat
kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga
rente meliputi propinsi, negara, bahkan global.
4. Ribâ yang
Produktif
Orang-orang ini beranggapan bahwa ribâ produktif yang diperbolehkan, boleh
menurut mereka ini dasarnya adalah bahwa ribâ yang dilarang sebagaimana yang
terjadi pada masa jahiliyah adalah praktek ribâ untuk keperluan konsumtif.
Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, dan sama saja dengan cermin sifat-sifat
orang munafik dan tingkah laku orang-orang yahudi yang senantiasa mencari-cari
alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Lafadz ar-ribâ adalah bermakna umum.
Huruf alif dan lam didepan kata “Arribâ” menunjukkan sifat lil jins atau lil
istighraq yang melukiskan keumumannya.[7] Berdasarkan pengertian ini, maka
lafadz “ar-ribâ” berarti mencakup semua keadaan, baik itu yang konsumtif maupun
yang produktif, keduanya termasuk ribâ yang diharamkan.
Untuk mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang umum diperlukan dalil-dalil
yang lain yang mentakhsiskan (mengkhususkan) keumumannya. Dalam masalah ribâ,
tidak ada satupun nash yang mentakhsiskan hukumnya dari ayat-ayat yang turun
tentang ribâ. Dengan demikian hukum ribâ berlaku sesuai dengan keumuman
lafadznya.
Sekali lagi,
Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan ribâ. Keduanya sama-sama
memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Dampak
Negatif Ribâ
1. Dampak
Ekonomi
Di antara
dampak ekonomi ribâ adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai
biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan
harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga
yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak
lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan
tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara
maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada
akhirnya negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan
pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan
proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh
masyarakat dunia.
2. Sosial
Kemasyarakatan
Ribâ
merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil ribâ
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang
dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh
lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa
memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha
memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan ribâ, berarti
orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.
Ancaman
Terhadap Pelaku Ribâ
1. Ancaman
Dari al-Qur’an
i.
Orang-orang yang memakan harta ribâ itu tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syethan, lantaran (tekanan) penmyakit gila…
(Qs. al-Baqarah [2]: 275).
Dalam ayat
di atas Allah mencela orang yang memakan ribâ (al-ladzîna ya’kulûna ar-ribâ)
seraya menyamakan mereka dengan orang yang berdiri gontal laksana berdirinya
orang yang kerasukan setan; lupa diri dan ingatan, alias tidak waras (lâ
yaqûmûna illâ kamâ yaqûmu al-ladzî yatakhabbatuhu as-syaythân min al-massi).
Celaan ini sangat keras, bahkan sangat menyakitkan. Sebab, Allah SWT bukan
hanya mencela, tetapi telah menyamakan orang yang dicela dengan orang yang
kerasukan setan. Di sini Allah sengaja menggunakan uslûb tasybîh (gaya
perumpamaan) untuk menguatkan negatifnya image orang yang memakan (ya’kulûna)
ribâ atau, menurut Imam As-Suyuthi, juga orang yang menghalalkan
(yastahillûna)-nya.[8]
Abdullah bin
Abbas menerangkan mengenai ayat ini bahwasannya pelaku ribâ dan pemakan kelak
di Hari Kiamat akan dikatakan: “Angkatlah senjatamu untuk berperang”[9]
Asy-Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya:
“Dipersamakannya pemakan ribâ dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu
ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah memasukkan ribâ ke dalam perut mereka
lalu barang itu memberatkan mereka, yang menyebabkan ia sempoyoingan dan jatuh
bangun. Hal ini menjadi ciri-ciri mereka di Hari Kiamat sehingga semua orang
mengenalnya.”[10]
Sekalipun
Allah tidak menyebutkan wajh as-syabah (wujud persamaan)-nya, setiap orang yang
mau membandingkan keduanya akan bisa menemukan jawabannya, bahwa keduanya
sama-sama lupa diri (tidak waras). Sebagian ahli tafsir, seperti Imam
Asy-Syaukani, menafsirkan lâ yaqûmûna (tidak bangkit) adalah tidak bangkit pada
Hari Kiamat. Artinya, pada Hari Kiamat kelak, orang yang memakan ribâ akan
dibangkitkan menjadi gila sebagai siksaan bagi mereka.[11]
Selanjutnya,
Allah memberi alasan, mengapa mereka dikatakan “tidak waras” atau “berdiri
gontai”? Jawabannya, karena mereka menganggap, bahwa jual-beli itu sama dengan
ribâ (dzâlika bi annahum qâlû innamâ al-bay’u mitslu ar-ribâ). Bagaimana tidak,
jual-beli yang jelas-jelas berbeda dengan ribâ dikatakan sama; hukum jual-beli
adalah halal, sedangkan ribâ jelas haram (wa ahalla Allâhu al-bay’a wa harrama
ar-ribâ). Di sini Allah menyebut ar-ribâ setelah al-bay’u, karena ribâ
merupakan derivat jual-beli yang ditambah dengan kompensasi tertentu, baik
akibat pertambahan waktu (nasî’ah) maupun kelebihan pertukaran barang (fadhl);
sekalipun kemudian masing-masing mempunyai hukum berbeda, karena manâth al-hukm
(fakta hukum)-nya jelas berbeda. Karena itu, kecaman di atas bukan hanya
ditujukan untuk orang yang memakan ribâ nasî’ah, tetapi juga untuk ribâ
fadhl.[12]
Orang yang
telah memakannya sebelum diturunkannya hukum ribâ, kemudian setelah hukum
tersebut turun, dia menghentikan praktek ribâ (faman jâ’ahu maw’idhatu min
rabbihi fantahâ), masih mempunyai hak atas harta yang diperolehnya di masa lalu
(falahu mâ salafa), dan urusannya diserahkan kepada Allah (wa amruhu ila
Allâhi). Akan tetapi, jika setelah diturunkannya hukum tersebut mereka masih
mengulangi praktek yang sama, maka mereka adalah para penghuni neraka yang akan
kekal didalamnya (wa man ‘âda fa’ulâ’ika ashhâbu an-nâr, hum fîhâ khâlidûn).
Pernyataan Allah ini merupakan qarînah (indikator) yang tegas, yang membuktikan
keharaman hukum ribâ.
ii. Kemudian
jika kamu tidak mau mengerjakan (meninggalkan ribâ), maka ketahuilah bahwa
Allâh dan RasulNya akan memerangimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 279).
iii. Allâh
memusnahkan ribâ dan meyuburkan sedekah. Dan Allâh tidak menyukai orang yang
tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. (Qs. al-Baqarah [2]: 276).
Dalam ayat
di atas, Allah menegaskan, bahwa Dia memusnahkan ribâ dan menyuburkan sedekah
(yamhaqu Allâh ar-ribâ wa yurbî as-shadaqât). Allah menyatakan demikian untuk
membalik persepsi, bahwa sekalipun secara matematis ribâ menguntungkan, di sisi
Allah dinihilkan. Sebaliknya, sedekah yang secara matematis merugikan, karena
harta yang disedekahkan berkurang, di sisi Allah dilipatgandakan. Kemudian
dilanjutkan dengan pernyataan: Wallâhu la yuhibbu kulla kaffârin atsîm (Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat
dosa).
2. Ancaman
Dalam Hadits Dan Pendapat Para Shahabat
Tidak ada
seorang Muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan ribâ adalah sesuatu
yang terlarang dan harus dihindari. Bahkan ribâ termasuk salah satu dosa besar.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
“Tinggalkanlah
tujuh hal yang dapat membinasakan…(salah satunya adalah) memakan ribâ…” [HR.
Bukhari dan Muslim].
Oleh karena
itu, orang yang melakukan ribâ akan mendapatkan laknat dari Allah SWT,
sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat
orang yang memakan ribâ, yang memberi makan, penulisnya dan dua orang saksinya.
Beliau bersabda:
“Mereka itu
(yang memakan ribâ, yang memberi makan dari hasil ribâ, yang menulis dan
saksinya) sama saja (hukumannya).” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hudzaifah].
Didalam
hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa perbuatan ribâ lebih menjijikkan dari
pada perbuatan zina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi SAW bersabda:
“Ribâ itu
mempunyai 73 pintu; sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang
bersetubuh dengan ibunya…” [HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, no. 2275, dari Ibnu
Mas’ud dengan sanad shaih].
“Satu dirham
yang diperoleh seseorang dari hasil ribâ lebih besar dosanya 36 kali daripada
perbuatan zina dalam Islam.” [HR. Baihaqi dari Anas bin Malik].
“Apabila
muncul perzinaan dan (berbagai jenis dan bentuk) riba dalam suatu negeri
(kampung), maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tidak peduli) sama sekali
terhadap azab Allah (yang akan menimpa mereka).” [HR. Thabrani dan al Hakim].
Dalam
menanggapi Qs. al-Baqarah [2]: 275, Abdullah bin Abbas ra. Berkata: “Siapa saja
yang masih tetap mengambil ribâ dan tidak mau meninggalkannya, maka telah
menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Khalifah) untuk menasehati orang-orang
tersebut. Jika mereka masih tetap keras kepala, maka seorang Imam dibolehkan
untuk memenggal lehernya.”[13]
Menurut
Muhammad Ali As-Sais, jika seseorang melakukan perbuatan ribâ tetapi tidak
taubat, maka seorang Imam harus menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap orang
tersebut.
Berdasarkan
keterangan di atas apabila Daulah Khilafah Islamiyyah (Negara Khilafah) telah
berdiri, maka praktek-praktek ribâ apapun bentuk dan namanya harus dihapuskan.
Bagi orang yang masih melakukan ribâ akan menghadapi sanksi yang sangat keras
di dunia, dan akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempar dan kekal di
neraka.
Abu Hurairah
ra. Berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
“Tatkala
malam aku dimi’rajkan, aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagaikan rumah,
tampak di dalamanya ular-ular berjalan keluar, lalu aku bertanya: ‘Siapakah
mereka itu wahai Jibril?’ Jawab Jibril, ‘Mereka adalah para pemakan ribâ’.”
Barangkali
ada baiknya jika kita meneladani bagaimana sikap para Shahabat dalam menghadapi
persoalan ioni. Diriwayatkan bahwa Umar ra. Berkata: “Di antara ayat-ayat yang
terakhir turunya adalah ayat tentang ribâ, dan Rasulullah meninggal dunia
sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkanlah
ribâ dan setiap hal yang meragukan.”
“Sungguh akan
datang pada manusia suatu masa (tatkala) tiada seorang pun di antara mereka
yang tidak akan memakan (harta) ribâ. Siapa saja yang (berusaha) tidak
memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (ribâ)-nya.” [HR. Ibnu Majah, no.
2278].
Khatimah
Bagi kaum
Muslimin yang telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami’na wa
‘atha’na (kami dengar dan kami mentaatinya). Sebab,
hukum haramnya ribâ telah sampai kepada kita. Tidak ada hak bagi seorangpun
untuk mencari-cari alasan guna menghindari haramnya hukum ribâ dan tidak ada
dalil sedikitpun yang membolehkan persoalan ini dari keharamannya. Tidak ada
seruan yang paling baik dalam masalah ini selain apa yang diserukan Allah dan
RasulNya. Tidak ada ketaatan terhadap makhluq dalam hal persoalan-persoalan
yang ia melanggar ketentuan Allah dan RasulNya.
Tidaklah
terbayangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku ribâ, pedihnya siksaan
yang akan dialami dan sepanjang hidupnya mendapatkan laknat Allah dan RasulNya?
Atau, tidakkah kalian perhatikan bagaimana ancaman hukuman yang terdapat pada
ayat ribâ yang merupakan peringatan Allah SWT kepada kita:
Dan
peliharalah dirimu (dari adzab) pada suata hari, dimana kamu sekalian akan
dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian masing-masing jiwa akan dibalas
dengan sempurna apa yang telah dikerjakannya itu dan mereka tidak akan
dianiaya. (Qs. al-Baqarah [2]: 281).
Ya Allah,
saksikanlah, kami telah menyampaikan!
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihat
Imam Ath-Thabariy, Tafsir Ath-Thabariy, juz I, hal. 388; Imam Al-Qurthubiy,
Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 348; Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I,
hal. 294; Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkhâm, juz I,
hal. 421; Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Tafsir Ayat Al-Akhâm, hal. 162.
[2] Lihat
Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 294.
[3] Lihat
Asy-Syaikh Muhammad Ahmad ad-Da’ur, Radd ‘alâ Muftarayât Hawla Hukm ar-Ribâ wa
Fawâ’id al-Bunûk, hal. 35 – 36.
[4] Lihat
Asy-Syaikh Abdurrahman Taj, dalam majalah Alliwâ Al-Islam Edisi II/1952.
[5] Lihat
Drs Shadiq SE dan H. Shallahuddin Chaeri, Kamus Istillah Agama, hal. 591.
[6] Lihat
Asy-Syaikh Abdurrahman al- Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzhaabil Arba’ah, jilid III,
hlm. 202 dan 204
[7] Lihat
Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 358.
[8] Lihat
Imam As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr, juz II, hal. 105.
[9] Lihat
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 326.
[10] Lihat
Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkhâm, juz I, hal. 425.
[11] Lihat
Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 295.
[12] Lihat
Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 294.
[13] Lihat
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 330 – 331.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar