Jumat, 21 September 2012

sejarah hukum islam di indonesia

Sejarah maasuknya Islam di Indonesia masih terjadi perselisihan pendapat tentang pada tahun dan abab ke berapa Islam masuk ke bumi Indonesia. Cendikawan  Islam belum puas  dengan penulisan sejarah Islam di Indonesia, hal ini (terjadi) pada seminar penulisan sejarah yang di adakan  oleh IAIN Sunan Kaliga Yogyakarta tanggal 8-9 Juni tahun 1993. Pada seminar ini para Cendikiawan tidak puasbterhadap Metodologi penulisan yang kebanyakan dari orang-orang non Muslim dimana pemahaman terhadap Islam di ragukan.[1]
Kendati demikian para pakar sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke VII Masehi, Hamka menegaskan bahwa masuknya Islam ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke tanah-tanah melayu pada abab ke satu Hijriyah, Islam masuk dengan jalan damai  dan beransur-ansur di terima dengan sukarela oleh penduduk Indonesia walaupun pada saat itu suda ada Agama Hindu dan Budha[2]
Sejarah Islam di Indonesia Hukum Islam perna mengakar sebelum masuknya kolonialisasi di Indonesia. Masa ini terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Islam  di  Indonesia yang memberlakukan hokum Islam dan corak pemerintahan Islam.[3] Proses Islamisasi  Hukum Islam terjadi pada awalnya di lakukan oleh saudagar-saudagar Arab dan masyarakat Indonesia dengan cara kontak dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan perkawinan dengan orang Indonesia  dilakukan berdasarkan kaedah-kaedah nilai-nilai Islam yang disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga islam inilah kemudian menjadi masyarakat islam di Indonesia.
Setelah hukum islam mengakar kemudian tugas saudagar di gantikan oleh Ulama untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah kemudian raja-raja belajar islam dan memberlakukan hukum islam  walaupun tidak secara penuh. Sebagai contoh Sultan Pasai pada tahun 1345 M di pegang oleh Sultan Malik Al-Zahir adalah seorang Fukaha yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Indonesia. [4]
Hukum Islam berlaku setapak demi setapak  tampa paksaan dan tampa menimbulkan  bentrokan dengan budaya dan adapt asli Indonesia yang telah lama hidup, dan dengan cara penaklukan atau “Par Conques” akan tetapi Hukum Islam  dapat diterima oleh masyarakat Indonesia  dengan bijaksana , penetrasi damai dan menghargai budaya asli Indonesia. [5]
Trasformasi social yang bercorak Islam ini kemudian di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia. Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hokum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.[6]
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini.[7] Sistem hokum islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia.[8] Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.[9]
Kehadiran Belanda di Indonesia  sejak awal suda di tentang dengan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahkan dari kerajaan Banten (Jawa Barat) mendapat protes sangat keras, sikap seperti ini di ikuti oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Akan tetapi dengan politik liciknya Belanda dengan dalih sebagai pedagang berhasil menguasai  bumi Indonesia, sejak itulah Indonesia menjadi tanah jajahan (daerah koloni) pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1742 Belanda yang dikenal dengan VOC  dalam Statuta Jakarta memperkenalkan sestem peradilan di Indonesia. Badan peradilan di bentuk maksudnya di samping  berlaku untuk orang-orang Belanda juga di upayakan diberlakukan untuk orang-orang pribumi Indonbesia. Akan tetapi usaha Belanda (VOC) tidak berasil  karena menddapat reaksi keras dari masyarakat islam di Indonesia, sehingga kemudian belanda membiarkan  lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat pribumi berjalan seperti biasa, di antaranya hukum perkawinan Islam, dan Waris Islam.
Untuk melegakan umat Islam di Indonesia VOC pada tahun 1760 M menerbitkan Compendium frijer yang isinya menghimpun hukum perkawinan islam dan hukum kewarisan islam  yang diberlakukan di pengadilan-pengadilan  guna menyelesaikan sengketa umat Islam di Indonesia. Diterbitkan pula kitab “Muharrar”  untuk pengadilan di Semarang yang memuat hukum-hukum jawa  yang dijiwai hokum Islam. Di Cirebon diterbitkan Kitab Papekam  yang berisikan hukum-hukum jawa kuno dan untuk luar jawa  untuk daerah Goa dan Bone. Demikian hukum Islam diberlakukan penuh  hingga (dari) tahun 1602-1800M.[10]
Setelah VOC mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia kemudian diteruskan sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, pada masa ini kekuasaan kolonialnya  di perluas sampai seluruh nusantara. Sejak inilah hukum islam mengalami pergeseran dan pengikisan, tahun 1848 pemerintah Belanda membentuk panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten Van Oudh Aarlem. Tujuan dibentuknya panitia kodifikasi hokum ini adalah mencari persesuaian hukum dinegeri Belanda dengan hukum yang hidup di Indonesia. [11]
Disamping itu akibat politik hukum Belanda azaz dualisme hukum yang berlaku di Indonesia satu sisi hukum perdata berat diberlakukan untuk golongan Eropa yang kemudian diberlakukan pula bagi golongan pribumi dan golongan timur Asing dengan azaz sukarela. Politik hukum Belanda pada dasarnya mengkebiri hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia dengan tunduknya kepada hukum perdata berat yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia akan mempermudah pemerintah Belanda menguasai bumi Indonesia dengan kedudukan sangat kuat sebagai penguasa dan rakyat Indonesia sebagai pribumi selamanya.
Pengaruh politik hokum Hindia Belanda terhadap peradilan agama di Indonesia cukup besar baik pada masa Indonesia sebelum merdeka dan setelah Indonesia merdeka dimana hukum Islam dalam perjalanannya selalu dibayangi teori Receptio in Complaexu, terbukti dengan lahirnya beberapa undang-undang yang masih menyudutkan hukum  Islam sebagai peradilan kelas dua, hal ini terlihat dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan hingga tahun 1989 masih dibutuhkan pengukuhan dari pengadilan negeri (Executoir Verklaring).


[1] Majalah Prisma,  (sejarah Politik Islam) Edisi no. 5 th XVII, 1993 (LP3ES) h. 59
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam .(N.V. Nusantara, Bukit Tinggi, 1961) h 20
[3] Roeslan Abdul Gani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta, Antar Kota, 1983) h. 20
[4] Hamka Op Cit h. 53
[5] Rorslan Abdul Gani Op Cit h.27
[6] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, (yayasan Risalah, Jakarta, 198

1 komentar: