Sejarah maasuknya Islam di Indonesia masih terjadi perselisihan
pendapat tentang pada tahun dan abab ke berapa Islam masuk ke bumi
Indonesia. Cendikawan Islam belum puas dengan penulisan sejarah Islam
di Indonesia, hal ini (terjadi) pada seminar penulisan sejarah yang di
adakan oleh IAIN Sunan Kaliga Yogyakarta tanggal 8-9 Juni tahun 1993.
Pada seminar ini para Cendikiawan tidak puasbterhadap Metodologi
penulisan yang kebanyakan dari orang-orang non Muslim dimana pemahaman
terhadap Islam di ragukan.[1]
Kendati demikian para pakar sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke VII Masehi, Hamka menegaskan bahwa masuknya Islam
ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke tanah-tanah melayu pada
abab ke satu Hijriyah, Islam masuk dengan jalan damai dan
beransur-ansur di terima dengan sukarela oleh penduduk Indonesia
walaupun pada saat itu suda ada Agama Hindu dan Budha[2]
Sejarah Islam di Indonesia Hukum Islam perna mengakar sebelum
masuknya kolonialisasi di Indonesia. Masa ini terjadi pada masa
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang memberlakukan hokum Islam
dan corak pemerintahan Islam.[3]
Proses Islamisasi Hukum Islam terjadi pada awalnya di lakukan oleh
saudagar-saudagar Arab dan masyarakat Indonesia dengan cara kontak
dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan perkawinan dengan orang
Indonesia dilakukan berdasarkan kaedah-kaedah nilai-nilai Islam yang
disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga islam inilah
kemudian menjadi masyarakat islam di Indonesia.
Setelah hukum islam mengakar kemudian tugas saudagar di gantikan oleh
Ulama untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah
kemudian raja-raja belajar islam dan memberlakukan hukum islam walaupun
tidak secara penuh. Sebagai contoh Sultan Pasai pada tahun 1345 M di
pegang oleh Sultan Malik Al-Zahir adalah seorang Fukaha yang menyebarkan
mazhab Syafi’i di Indonesia. [4]
Hukum Islam berlaku setapak demi setapak tampa paksaan dan tampa
menimbulkan bentrokan dengan budaya dan adapt asli Indonesia yang telah
lama hidup, dan dengan cara penaklukan atau “Par Conques” akan tetapi
Hukum Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dengan bijaksana ,
penetrasi damai dan menghargai budaya asli Indonesia. [5]
Trasformasi social yang bercorak Islam ini kemudian di berlakukan
oleh raja-raja di Indonesia. Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di
Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan
sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk
peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam
dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan
Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya
ahli hokum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal
dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga
menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan,
proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.[6]
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan
tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan.
Hukum islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama,
permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan
oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada
Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya
kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I,
Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini.[7]
Sistem hokum islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat di
Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh
Negara-negar barat di Indonesia.[8] Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.[9]
Kehadiran Belanda di Indonesia sejak awal suda di tentang dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahkan dari kerajaan Banten (Jawa
Barat) mendapat protes sangat keras, sikap seperti ini di ikuti oleh
kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Akan tetapi dengan politik
liciknya Belanda dengan dalih sebagai pedagang berhasil menguasai bumi
Indonesia, sejak itulah Indonesia menjadi tanah jajahan (daerah koloni)
pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1742 Belanda yang dikenal dengan VOC dalam Statuta Jakarta
memperkenalkan sestem peradilan di Indonesia. Badan peradilan di bentuk
maksudnya di samping berlaku untuk orang-orang Belanda juga di upayakan
diberlakukan untuk orang-orang pribumi Indonbesia. Akan tetapi usaha
Belanda (VOC) tidak berasil karena menddapat reaksi keras dari
masyarakat islam di Indonesia, sehingga kemudian belanda membiarkan
lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat pribumi berjalan seperti biasa,
di antaranya hukum perkawinan Islam, dan Waris Islam.
Untuk melegakan umat Islam di Indonesia VOC pada tahun 1760 M
menerbitkan Compendium frijer yang isinya menghimpun hukum perkawinan
islam dan hukum kewarisan islam yang diberlakukan di
pengadilan-pengadilan guna menyelesaikan sengketa umat Islam di
Indonesia. Diterbitkan pula kitab “Muharrar” untuk pengadilan di
Semarang yang memuat hukum-hukum jawa yang dijiwai hokum Islam. Di
Cirebon diterbitkan Kitab Papekam yang berisikan hukum-hukum jawa kuno
dan untuk luar jawa untuk daerah Goa dan Bone. Demikian hukum Islam
diberlakukan penuh hingga (dari) tahun 1602-1800M.[10]
Setelah VOC mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia kemudian
diteruskan sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, pada masa ini kekuasaan
kolonialnya di perluas sampai seluruh nusantara. Sejak inilah hukum
islam mengalami pergeseran dan pengikisan, tahun 1848 pemerintah Belanda
membentuk panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten Van
Oudh Aarlem. Tujuan dibentuknya panitia kodifikasi hokum ini adalah
mencari persesuaian hukum dinegeri Belanda dengan hukum yang hidup di
Indonesia. [11]
Disamping itu akibat politik hukum Belanda azaz dualisme hukum yang
berlaku di Indonesia satu sisi hukum perdata berat diberlakukan untuk
golongan Eropa yang kemudian diberlakukan pula bagi golongan pribumi dan
golongan timur Asing dengan azaz sukarela. Politik hukum Belanda pada
dasarnya mengkebiri hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia dengan
tunduknya kepada hukum perdata berat yang jelas-jelas tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia akan mempermudah pemerintah Belanda
menguasai bumi Indonesia dengan kedudukan sangat kuat sebagai penguasa
dan rakyat Indonesia sebagai pribumi selamanya.
Pengaruh politik hokum Hindia Belanda terhadap peradilan agama di
Indonesia cukup besar baik pada masa Indonesia sebelum merdeka dan
setelah Indonesia merdeka dimana hukum Islam dalam perjalanannya selalu
dibayangi teori Receptio in Complaexu, terbukti dengan lahirnya
beberapa undang-undang yang masih menyudutkan hukum Islam sebagai
peradilan kelas dua, hal ini terlihat dengan pelaksanaan eksekusi
putusan peradilan hingga tahun 1989 masih dibutuhkan pengukuhan dari
pengadilan negeri (Executoir Verklaring).
[1] Majalah Prisma, (sejarah Politik Islam) Edisi no. 5 th XVII, 1993 (LP3ES) h. 59
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam .(N.V. Nusantara, Bukit Tinggi, 1961) h 20
[3] Roeslan Abdul Gani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta, Antar Kota, 1983) h. 20
[4] Hamka Op Cit h. 53
[5] Rorslan Abdul Gani Op Cit h.27
[6] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, (yayasan Risalah, Jakarta, 198
sm......ok
BalasHapus