1.Pendahuluan
Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia
yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga,
sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.
Menuasia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh
mulia dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan
adanya aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan
kelebihan derajat yang namanya makhluk menuasia disbanding dengan jenis makhluk
lainnya.
2. Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan
sendirinya.
Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum
Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu
Hukum Islam telah nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan
pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada
keragua-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi
sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.
Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat
yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun
sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus
dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 19 ayat 2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamnya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas.
Maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan
Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara
yang beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia
yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum
adat atau belum
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau
secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya
peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975
hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara
Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut
dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya
Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74),
Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898
Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah
tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang
dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara
keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau
tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih
tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara
tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan
bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan
tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara
Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus
dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.
Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan
Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan
umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara
Indonesia yang beragama Islam.
3. Kedudukan
Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan
yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini
diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada
dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan
juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya:
hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan,
cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah
putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan
dan lain-lain.
4. Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang Islam
adalah sebagai berikut:
a Dengan
melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik
secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan
halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
b Dengan
melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam
kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram suami istri.
c. Dengan
melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan
keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.
d. Dengan
terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari
pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan
masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
e.
Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat
Islam.
5. Asas-asas dan Prinsip-prinsip
Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Dalam ajaran
Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a. Harus ada
persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah
kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak
semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c.
Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu,
baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan
pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d.
Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga
tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak dan
kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab
pimpinan keluarga ada pada suami.
6. Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
b. Dalam
Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan
perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c.
Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya,
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d.
Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat
keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan
antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu
mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya
kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon
suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi,
jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu,
maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi
pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal
19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar
Islam.
f. Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan
menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan
sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar