Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah
istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari
Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan.
Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya
sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka
Nama lain Jual Beli Murabahah ini
Jual
beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan
nama-nama sebagai berikut:
- al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
- al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
- Bai’ al-Muwa’adah
- al-Murabahah al-Mashrafiyah
- al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
- Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)
Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu
(الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan) Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual
barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual
dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual
menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan
keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada
dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun
akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan
nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual
belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah
seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana
disampaikan ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan ijma’ dalam hal
itu demikian juga al-Kaasaani
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama
fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini
tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di
lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa
lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam
memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara
definisi yang disampaikan mereka adalah:
- Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
- Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
- Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
- Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Bentuk Gambarannya
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan
lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.
Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak
sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada
lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat
tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk
membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan
tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai
harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan
keuntungannya.
2.
Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah
pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu,
lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari
nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini
tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa
ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3.
Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang
diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad
transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki
hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau
menggagalkannya.
Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini
Permasalahan jual belia murabahah KPP ini sebenarnya
bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para
ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:
Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan
kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan
keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang
menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar),
apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan
tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’.
Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu
sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama.
Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar).
Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku
akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam
diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila
keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu
dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka
ia termasuk dalam dua hal:
1.
Berjual beli sebelum penjual memilikinya.
2.
Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir
3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya
satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual)
kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang
minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari
kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan
(hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya
senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.
Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini
bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban
membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’
al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada
dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar
untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar
di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah)
dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana
disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak
ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli
ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya
atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh
menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya
boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya
hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.
Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak
mengikat (Ghairu al-Mulzaam)
Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan
janji yang tidak mengikat ada dua:
- Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.
- Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid.
Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini
Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah
tahapan, diantara yang terpenting adalah:
1. Pengajuan
permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk
membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk
membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
2.
Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4.
Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk
menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa
janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari
nasabah ada masa janji ini.
5.
Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7.
Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang
memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit)
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit)
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang
dituntut.
Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah
KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-’Uquud al-Maliyah
al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari
Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:
Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri
dari:
1.
Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia
adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang
sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2.
Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga
keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak
yang minta dibelikan (pemohon).
3.
Ada tiga janji yaitu:
a. Janji dari lembaga keuangan untuk
membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan
untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah
jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua
akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan
langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu
akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam
satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang
tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut
saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah
pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai
pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat
dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan
untung kamu dengan sekian.
Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh
lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk
membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan
kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah
Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang
ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang
mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling
terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.
Hukumnya
Yang
rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di
antaranya:
a.
Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual
barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada
hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini
adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual
kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
b.
Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang
dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar
darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c.
Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua
transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’
al-Gholil 5/149)
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad
(transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam
satu jual beli.
Ketentuan diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan
diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah
diperbolehkan dengan tiga hal:
- Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
- Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
- Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar